
NPM : 143131350102004
MK : Desentralisasi, Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah
Dosen : Prof. Dr. Tjahya Supriatna, SU
“MODEL
DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH”
Sejak tahun
1999, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kerangka peraturan
perundang-undangan sebagai pedoman untuk implementasi desentralisasi dan
otonomi daerah. Namun mengingat luasnya dimensi desentralisasi yang berlangsung
di Indonesia, belum semua elemen pemerintahan dan pembangunan daerah sudah
memiliki pedoman. Belum lagi kebutuhan untuk menyesuaikan dengan dinamika
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Agar penyelenggaraan
pemerintahan daerah dapat segera efektif sesuai dengan amanat dari UU No.32
Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004, maka hingga kini pemerintah terus berupaya
untuk menyusun berbagai Peraturan Pemerintah, baik sebagai revisi peraturan
yang sudah ada, maupun peraturan baru sebagaimana diamanatkan oleh kedua UU
tersebut. Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang efektif
diharapkan mampu mendorong proses transformasi pemerintahan daerah yang
efisien, akuntabel, responsif dan aspiratif. Untuk itu, dalam tataran
pelaksanaan diperlukan sejumlah perangkat pendukung (regulasi) baik berupa
peraturan atau perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan teknis guna
menunjang keberhasilan tersebut.
Masalahnya
adalah bahwa setelah kebijakan desentralisasi dilaksanakan sejak awal tahun
2001, banyak persoalan yang perlu segera diselesaikan terkait dengan koordinasi
kebijakan yang bukan hanya menyangkut lembaga-lembaga di jajaran pemerintah
pusat, tetapi juga di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Meskipun
semangat desentralisasi tetap dijadikan sebagai landasan berpikir dalam
pelaksanaan kegiatan pemerintah dan tugas-tugas pembangunan, di dalam praktik
banyak kementrian dan departemen sektoral yang masih belum paham mengenai
strategi kebijakan desentralisasi di tingkat nasional dan bagaimana
melaksanakan devolusi kewenangan kepada jenjang pemerintahan yang lebih rendah.
Disisi lain masih ditemukan banyak kelemahan dalam pelaksanaannya, baik dari
kelengkapan regulasi, kesiapan pemerintah daerah, maupun penerimaan masyarakat
sendiri. Terlepas dari itu semua, desentralisasi dan otonomi daerah telah
menjadi suatu keniscayaan dengan mempertimbangkan amanat UUD 1945 sebagai
konstitusi bangsa Indonesia yang telah menegaskan hal tersebut. Dengan
demikian, menjadi lebih berharga kemudian meninjau kembali pencapaian selama
ini dan merumuskan agenda desentralisasi dan otonomi ke depan dengan
keterbatasan yang ada.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan
kewenangan pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara otonomi daerah diartikan sebagai
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai peraturan perundang-undangan.
Dengan
demikian, Desentralisasi otonomi daerah dapat diartikan sebagai pelimpahan
sebagian wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri (wilayah kabupaten/ kota/ provinsi dalam hal
ini daerah otonom) tanpa campur tangan dari pihak lain sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
Gambar 1.
Model Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa pemerintah pusat memiliki peranan dalam hal dekonsentrasi dan medebewind / pembantuan. Berkenaan dengan dekonsentrasi, pemerintah pusat menggunakan asas desentralisasi menyerahkan sebagian wewenangnya kepada daerah otonom, dalam hal ini provinsi /kota dan kabupaten yang terdiri dari kecamatan, kelurahan dan desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Disisi lain pemerintah pusat memiliki peranan sebagai medebewind/ pembantuan kepada daerah otonom langsung kepada masyarakat, jika melalui otonomi provinsi mencakup lintas dan perbatasan sedangkan melalui kabupaten dalam cakupan otonomi luas. Nantinya secara bersama-sama mengedepankan kepentingan publik, dalam hal ini masyarakat. Walaupun pemeirntah pusat memiliki peranan berbeda namun, hakekat dari tugas dan programnya tetap mengarah pada kesejahteraan masyarakat.
Desentralisasi
sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di
definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem
pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan
dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang
menyebabkan perubahan paradigma
pemerintahan di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa
desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah. Sebab, otonomi daerah
merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus
daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat. Jadi
dengan adanya desentralisasi, maka akan berdampak positif pada pembangunan
daerah-daerah yang tertinggal dalam suatu negara. Agar daerah tersebut dapat
mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan nasional (http://id.wikipedia.org) .
Adanya pemerintah daerah yang besifat otonom, adalah sebagai konsekuensi
dilaksanakannya asas desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara yuridis formal, pelaksanaan otonomi dilaksanakan pada otonomi yang
luas, nyata dan bertanggung jawab. Pernyataan ini sebagaimana diungkapkan dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai berikut : “ …….. Pemberian
kewenangan otonomi kepada daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada
asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung
jawab” (UU No. 22 Tahun 1999 : 65).
Dengan wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab mengandung
pengertian bahwa kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik, luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta kewenangan bidang lainnya
yang akan ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
Di samping itu keleluasaan otonomi mencakup kewenangan yang utuh dan bulat
dalam penyelenggaraan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan
evaluasi. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu secara nyata yang
diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai pemberian
otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta
pemeliharaan hubungan yang baik antar pemerintah daerah dengan pusat, antar
pemerintah daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (UU No. 22 tahun 1999:66).
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung
jawab tidak lagi menekankan bahwa otonomi lebih merupakan kewajiban dari pada
hak, tetapi memberikan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota kepada asas
desentralisasi saja. Peletakan otonomi kepada daerah kabupaten dan
daerah kota bermanfaat untuk meningkatkan pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataan daerah kabupaten dan
daerah kota lebih langsung kepada masyarakat, sehingga daerah kabupaten dan
kota lebih mengetahui keinginan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat dibandingkan
dengan daerah propinsi. Dengan demikian prinsip otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab akan lebih mudah dan cepat diwujudkannya.
Secara teoritis pendapat tersebut sejajar dengan apa yang dikemukakan oleh
Samuel Hume dan Eiken Martin. Keduanya mengatakan bahwa di negara-negara yang
pemerintahan daerahnya terdiri dari beberapa tingkat, penyelenggaraan
pemerintah daerah akan lebih memuaskan apabila berada pada tingkat yang lebih
dekat dengan rakyat dan yang kegiatan-kegiatannya dapat dilihat dan dirasakan
langsung oleh rakyat. Dengan semakin akrabnya hubungan antara pemerintahan dengan
rakyatnya maka akan saling mendorong timbulnya pengertian dan pada gilirannya
nanti akan menimbulkan tumbuhnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam
segala kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terutama sekali dalam
pelaksanaan pembangunan (Humes dan Martin, 1991:19).
Seiring dengan momentum untuk melaksanakan
upaya pembenahan peraturan perundang-undangan, upaya penyempurnaan kebijakan
desentralisasi juga harus disertai dengan pemahaman yang menyeluruh tentang
evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan serta kemungkinan
tantangan kebijakan di masa mendatang.
Berangkat
dari kondisi tersebut, maka diperlukan suatu kajian untuk mengevaluasi kinerja
pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan efektivitas implementasi pengaturan
dalam regulasi terkait kebijakan desentralisasi, baik regulasi sektoral maupun
regulasi desentralisasi yang bersifat generik. Untuk dapat mengevaluasi
efektivitas regulasi tersebut, maka perlu lebih dahulu dilakukan pemetaan
terhadap regulasi sektoral dan desentralisasi sebagai landasan kebijakan
pelaksanaan otonomi daerah.
Atas dasar
itu, maka diperlukannya tahapan kajian antara lain :


thanks ya....jazakillahu khairan
BalasHapusmin gambarnya gak kebuka....
BalasHapus