Minggu, 20 September 2015

MODEL DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH



Flowchart: Terminator: UJIAN AKHIR SEMESTERNama  : Novita Wulandari
NPM    : 143131350102004
MK      : Desentralisasi, Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah
Dosen : Prof. Dr. Tjahya Supriatna, SU

“MODEL DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH”

                Sejak tahun 1999, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kerangka peraturan perundang-undangan sebagai pedoman untuk implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Namun mengingat luasnya dimensi desentralisasi yang berlangsung di Indonesia, belum semua elemen pemerintahan dan pembangunan daerah sudah memiliki pedoman. Belum lagi kebutuhan untuk menyesuaikan dengan dinamika pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat segera efektif sesuai dengan amanat dari UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004, maka hingga kini pemerintah terus berupaya untuk menyusun berbagai Peraturan Pemerintah, baik sebagai revisi peraturan yang sudah ada, maupun peraturan baru sebagaimana diamanatkan oleh kedua UU tersebut. Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang efektif diharapkan mampu mendorong proses transformasi pemerintahan daerah yang efisien, akuntabel, responsif dan aspiratif. Untuk itu, dalam tataran pelaksanaan diperlukan sejumlah perangkat pendukung (regulasi) baik berupa peraturan atau perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan teknis guna menunjang keberhasilan tersebut.
                Masalahnya adalah bahwa setelah kebijakan desentralisasi dilaksanakan sejak awal tahun 2001, banyak persoalan yang perlu segera diselesaikan terkait dengan koordinasi kebijakan yang bukan hanya menyangkut lembaga-lembaga di jajaran pemerintah pusat, tetapi juga di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Meskipun semangat desentralisasi tetap dijadikan sebagai landasan berpikir dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah dan tugas-tugas pembangunan, di dalam praktik banyak kementrian dan departemen sektoral yang masih belum paham mengenai strategi kebijakan desentralisasi di tingkat nasional dan bagaimana melaksanakan devolusi kewenangan kepada jenjang pemerintahan yang lebih rendah. Disisi lain masih ditemukan banyak kelemahan dalam pelaksanaannya, baik dari kelengkapan regulasi, kesiapan pemerintah daerah, maupun penerimaan masyarakat sendiri. Terlepas dari itu semua, desentralisasi dan otonomi daerah telah menjadi suatu keniscayaan dengan mempertimbangkan amanat UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia yang telah menegaskan hal tersebut. Dengan demikian, menjadi lebih berharga kemudian meninjau kembali pencapaian selama ini dan merumuskan agenda desentralisasi dan otonomi ke depan dengan keterbatasan yang ada.
            Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, Desentralisasi otonomi daerah dapat diartikan sebagai pelimpahan sebagian wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (wilayah kabupaten/ kota/ provinsi dalam hal ini daerah otonom) tanpa campur tangan dari pihak lain sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

 
Gambar 1. Model Desentralisasi dan Otonomi Daerah

            Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa pemerintah pusat memiliki peranan dalam hal dekonsentrasi dan medebewind / pembantuan. Berkenaan dengan dekonsentrasi, pemerintah pusat menggunakan asas desentralisasi menyerahkan sebagian wewenangnya kepada daerah otonom, dalam hal ini provinsi /kota dan kabupaten yang terdiri dari kecamatan, kelurahan dan desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Disisi lain pemerintah pusat memiliki peranan sebagai medebewind/ pembantuan kepada daerah otonom langsung kepada masyarakat, jika melalui otonomi provinsi mencakup lintas dan perbatasan sedangkan melalui kabupaten dalam cakupan otonomi luas. Nantinya secara bersama-sama mengedepankan kepentingan publik, dalam hal ini masyarakat. Walaupun pemeirntah pusat memiliki peranan berbeda namun, hakekat dari tugas dan programnya tetap mengarah pada kesejahteraan masyarakat.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah. Sebab, otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat. Jadi dengan adanya desentralisasi, maka akan berdampak positif pada pembangunan daerah-daerah yang tertinggal dalam suatu negara. Agar daerah tersebut dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan nasional (http://id.wikipedia.org) .
Adanya pemerintah daerah yang besifat otonom, adalah sebagai konsekuensi dilaksanakannya asas desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara yuridis formal, pelaksanaan otonomi dilaksanakan pada otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Pernyataan ini sebagaimana diungkapkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai berikut : “ …….. Pemberian kewenangan otonomi kepada daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab” (UU No. 22 Tahun 1999 : 65).
Dengan wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab mengandung pengertian bahwa kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
Di samping itu keleluasaan otonomi mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu secara nyata yang diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang baik antar pemerintah daerah dengan pusat, antar pemerintah daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 22 tahun 1999:66).
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab tidak lagi menekankan bahwa otonomi lebih merupakan kewajiban dari pada hak, tetapi memberikan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota kepada asas desentralisasi saja. Peletakan otonomi kepada daerah kabupaten dan daerah kota bermanfaat untuk meningkatkan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataan daerah kabupaten dan daerah kota lebih langsung kepada masyarakat, sehingga daerah kabupaten dan kota lebih mengetahui keinginan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat dibandingkan dengan daerah propinsi. Dengan demikian prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab akan lebih mudah dan cepat diwujudkannya.
Secara teoritis pendapat tersebut sejajar dengan apa yang dikemukakan oleh Samuel Hume dan Eiken Martin. Keduanya mengatakan bahwa di negara-negara yang pemerintahan daerahnya terdiri dari beberapa tingkat, penyelenggaraan pemerintah daerah akan lebih memuaskan apabila berada pada tingkat yang lebih dekat dengan rakyat dan yang kegiatan-kegiatannya dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh rakyat. Dengan semakin akrabnya hubungan antara pemerintahan dengan rakyatnya maka akan saling mendorong timbulnya pengertian dan pada gilirannya nanti akan menimbulkan tumbuhnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam segala kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terutama sekali dalam pelaksanaan pembangunan (Humes dan Martin, 1991:19).
Seiring dengan momentum untuk melaksanakan upaya pembenahan peraturan perundang-undangan, upaya penyempurnaan kebijakan desentralisasi juga harus disertai dengan pemahaman yang menyeluruh tentang evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan serta kemungkinan tantangan kebijakan di masa mendatang.
Berangkat dari kondisi tersebut, maka diperlukan suatu kajian untuk mengevaluasi kinerja pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan efektivitas implementasi pengaturan dalam regulasi terkait kebijakan desentralisasi, baik regulasi sektoral maupun regulasi desentralisasi yang bersifat generik. Untuk dapat mengevaluasi efektivitas regulasi tersebut, maka perlu lebih dahulu dilakukan pemetaan terhadap regulasi sektoral dan desentralisasi sebagai landasan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah.
Atas dasar itu, maka diperlukannya tahapan kajian antara lain :

2 komentar: