Jumat, 11 Januari 2013

TUGAS MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA


MENGUKUR EFEKTIFITAS TRAINING DAN DEVELOPMENT
Syarat pemenuhan tugas Bpk Dwi Kurniawan Semester 3

            Ketermanguan seseorang akibat kehilangan kata-kata di dalam arena diskusi, merupakan hal yang lumrah, tapi tidak bagi seseorang yang mempunyai bekal, berpengetahuan, berwawasan luas. Begitupun jika dihadapi dengan sebuah pilihan, yang mungkin dapat menjerumuskan hanya karena sebuah ketidaktahuan atau bahkan pengujian.
            Sebuah anggapan mengenai aktivitas, apalagi berkenaan dengan efektifitas jika dikembalikan ke hokum, maka itu adalah hak individual. Terlebih di zaman demokrasi seperti saat sekarang ini. Zaman dimana kebebasan berpendapat, mengutarakan aspirasi menjadi ajang prioritas telebih untuk perbaikan di masa mendatang. Lain halnya dengan niat buruk, yang akan menjerumuskan. Seperti halnya kata pepatah “lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Hujatan demi hujatan yang keluar dari peserta diskusi, layaknya sengatan mentari di siang hari yakni sebuah cambuk bagi yang menerima untuk memberikan yang terbaik, maksimum. Walau ada kata “pemateri bukanlah alat pemuas” namun minimal mendekati, mengerti maksud dari pertanyaan dan sikap peserta diskusi layaknya pemimpin yang berkharisma.
            Perbedaan pendapat merupakan suatu keindahan, karena di dalam perbedaan itu kita akan menemukan jalan keluar dari suatu pokok permasalahan. Training memang sangat berguna bagi mereka yang menikmati, tapi juga membosankan untuk mereka yang tidak mengerti terlebih mereka yang tidak menggunakan soul and hearth dalam mengikuti sebuah training. Menurut (Simamora:2006:276) penyelenggaraan pelatihan dan pengembangan kerja diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan. Salah satu faktor penentu keberhasilan/kegagalan organisasi adalah faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Keunggulan mutu bersaing suatu organisasi sangat ditentukan oleh mutu SDM-nya. Penanganan SDM harus dilakukan secara menyeluruh dalam kerangka sistem pengelolaan SDM yang bersifat strategis, integrated, interrelated dan unity. Organisasi sangat membutuhkan SDM yang kompeten, memiliki kompetensi tertentu yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pekerjaannya. Banyak cara yang dapat ditempuh dalam peningkatan bisnis diantaranya pengembangan kompetensi tim, focus pelatihan dan human capital strategies, begitupun juga dengan focus traning.
            Kesuksesan perusahaan dalam penerepan training menjadikan ajang tuk slalu dijalankan untuk kalangan karyawan bahkan dengan cara tersebut sambutan positif ditunjang oleh menajemen yang baik sangat dihargai. Ditinjau dari perhatian dalam mengembangkan karyawan pada dua sisi yakni softskills dan hardskills. Hal itu jua yang menjadi cambuk untuk slalu berperstasi bagi individual dalam sebuah perusahaan, terlebih perusahaan yang mengedepankan “reward and punishman”. Sehingga bukanlah hal yang asing lagi bila ada perusahaan yang memanjakan aktivitas itu terus mengembangkan sayapnya bahkan kerap menyiapkan program-program pembelajaran untuk para karyawannya.
            Rahasia kesuksesan perusahaan menjadi sebuah rahasia dan hal yang diburu oleh para pesaingnya. Namun bagi perusahaan yang sangat mendukung strategi training and development menimbulkan pertanyaan bagi orang yang menanggapi bahkan berhubungan langsung dengan perusahaan. Sebuah teka-teki timbul atas pemikiran ini yang sering membuat dilema berikut mengupas misteri berkenaan dengan hal tersebut. Training & Development membantu perusahaan pengguna jasa dalam melaksanakan program pengembangan Sumber Daya Manusia sesuai dengan strategi perusahaan dalam mengoptimalkan kinerja organisasinya. Program-program pelatihan dan pengembangan disusun secara sistematis,sehinga kinerja yang maksimal kan terwujud dan sesuai dengan apa yang ingin dicapai.
            Timbulnya pertanyaan akan kebutuhan dan keberadaan sebuah divisi menjadi sorotan dalam daya saing, terlebih apa bila keinginan pembangunan kapabilitas organisasi diperlukan oleh perusahaan. Berkenaan dengan program pelatihan adakalanya dikelola sendiri dan ada pula yang dikelola oleh pihak eksternal dengan maksud mencapai efektifitas atau kesesuaian kompetensi maupun kapabilitas organisasi. Terlebih pembagian antara kompetensi khusus dan umum dijadikan power tergantung substansi yang di inginkan.
            Pengukuran efektivitas pun berbeda, tergantung metoda mana yang akan digunakan. Apabila kita menggunakan Teknik-teknik on the job merupakan metode latihan yang paling banyak digunakan. Karyawan dilatih tentang pekerjaan baru dengan supervisi langsung seorang “pelatih” yang berpengalaman. Efektivitas pun dimaksud mengukur penggunaan cost terhadap revenue. Mengenai standar kompetensi yang dijadikan persyaratan perusahaan sehingga training bisa menjadi obat untuk pengembangan.
            Menilai suatu keberhasilan program training sangat perlu agar dapat diketahui apakah pelaksanaan training berhasil dengan baik atau belum. Hampir semua perusahaan memiliki tujuan untuk meningkatkan produktivitas. Produktivitas mengandung pengertian sikap mental yang selalu memandang bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari kemarin dan esok hari lebih baik dari hari ini. Kesalahan dalam penilaian training adakalahnya 10% dari feed back dan konsultasi, level analisa kebutuhan yang berdasarkan weakness bukan kekuatan.
            Penggunaan pelatihan berbasis strength semestinya di link antara business  strategi dengan kegiatan training dan dapat pula menggunakan causal chain analysis untuk memulai business goal menuju training. Kesalahan, atau melesetnya efektivitas bisa saja terjadi namun dibalik itu ada cara untuk mengatasi. Namun, hal ini menuntut kejelasan dasar mengenai kapabilitas dan kompetensi sehingga hasilnya efektif dan tidak menjadi pemborosan bagi perusahaan. Ada pula , tuntutan akan kesesuaian pelaksanaan training dengan njenis kompetensi yang memerlukan pelatihan umum dalam jangka waktu panjang, seperti kepemimpinan dan kemampuan berkomunikasi. Karena setiap manusia adalah pemimpin dan tidak ada yang tidak berkomunikasi, maka jadikanlah hidup itu lebih berarti, karena “hidup adalah sebuah pilihan

Kamis, 10 Januari 2013

TUGAS OPERASIONAL RISET


SOAL
1.     Buatlah tulisan mengenai riset operasional ditinjau dari segi manajemen (aplikasi disiplin ilmu).

PEMBAHASAN
            Riset operasional (atau lebih dikenal dengan operation research atau quantitative analysis) merupakan serangkaian kegiatan analisis dan pemodelan matematik untuk keperluan pengambilan keputusan. Riset Operasional dapat digambarkan sebagai suatu pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan yang melibatkan operasi-operasi dalam sistem organisasi. Penggambaran tersebut masih bersifat umum, sehingga untuk lebih memahami segi unik dari riset operasional mungkin lebih baik bila dilihat dari sifat-sifat khas atau istimewa.Berdasarkan namanya , riset operasional melibatkan ”riset pada operasi”. Jadi riset operasional dapat diterapkan pada masalah-masalah tentang bagaimana memperlakukan dan mengkoordinasikan operasi-operasi atau kegiatan-kegiatan dalam suatu organisasi. Yang dimaksud dengan organisasi disini sangatlah luas, misalkan organisasi di dalam bidang bisnis, industri, militer, agen pemerintah, jasa dan lain-lain.
            Pendekatan yang digunakan pada riset operasional adalah pendekatan dengan metode ilmiah. Pendekatan ini biasanya dimulai dengan dilakukannya observasi dan formulasi masalah, kemudian dilanjutkan dengan membuat permodelan (biasanya berbentuk model matematis) yang menyatakan esensi dari keadaan yang sebenarnya yang akan dianalisis. Selanjutnya dicari solusi optimal berdasarkan model yang dibuat dan dilakukan penerapan solusi yang diperoleh untuk memecahkan masalah.  Mulai dari “pendekatan pengetahuan untuk pengambilan keputusan”, “penggunaan perangkat kuantitatif untuk sistem yang asalnya dari kehidupan nyata”, sampai dengan “ilmu pengembilan keputusan”, dan sebagainya. Pada pertengahan 1970-an, Operations Research Society of America mendefinisikan artinya sebagai berikut :
“Riset Operasi dikaitkan dengan ilmu pengetahuan yang memutuskan bagaimana rancangan dan operasi terbaik pada sistem manusia-mesin yang biasanya dalam kondisi membutuhkan alokasi sumber daya yang terbatas”
            Banyak kasus-kasus dalam perusahaan yang membutuhkan pemecahan masalah secara kuantitatif dengan metode riset operasi agar dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya untuk mendapat keuntungan yang maksimal atau menggunakan biaya yang minimal. Sebagai contoh kasus keterbatasan bahan baku pembuatan barang yang dikaitkan dengan keuntungan yang ingin dimaksimalkan, perusahaan listrik negara dalam mengkonstruksi lintasan/jalur distribusi listrik tentu tidak asal sambung-menyambung instalasi kabel listrik untuk sampainya jaringan distribusi listrik dari konsumen ke konsumen, produk-produk yang dihasilkan pabrik yang kemudian ditampung dan gudang-gudang penyimpanan tentu memakan biaya dan ingin agar biaya yang digunakan minimal dengan penggunaan gudang secara maksimal, bagaimana sebuah proyek dapat dipercepat dengan melakukan paralelisme langkah-langkah penyelesaian, dan masih banyak lagi kasus-kasus sejenis yang membutuhkan riset operasi untuk diselesaikan.
            Cara yang biasa digunakan untuk menggambarkan situasi untuk model riset operasi adalah yang pertama menentukan segala sesuatu apa yang ingin dilakukan, dan segala sesuatu apa yang dipunyai untuk melakukan dan hasilnya. Apa yang ingin dicapai (keuntungan tinggi, level kepuasan konsumen yang tinggi, area pemasaran yang luas, biaya produksi rendah, atau sejenisnya) adalah merupakan tujuan. Disisi lain, semua kebutuhan (seperti pembatasan budget, keterbatasan kemempuan perusahaan dalam hal manpower, dasar pengetahuan, ketersediaan mesin, dan sebagainya) disebut dengan constraints. Sedangkan dalam kebanyakan perangkat riset operasi, tujuan (objective) dan kendala (constraint) harus secara jelas dipisahkan, hal ini harus selalu sesuai dengan kenyataannya. Misalnya, budget yang digunakan dalam satu bulan tidak melebihi yang disediakan, artinya bagaimanapun teknik solusi yang diberikan, jika melampaui batas ketersediaan budget maka tidak memberikan solusi dengan benar.
            Setiap model riset operasi akan meliputi parameters dan variables. Parameter adalah jumlah yang dipunyai (atau dapat menentukan), tetapi tidak dalam control kita, variabel adalah jumlah yang tidak diketahui (tapi akan diketahui), dan dimana merupakan arah pekerjaan kita. Misalnya, perkiraan kebutuhan untuk produk adalah parameter, sedangkan jumlah unit yang dibuat adalah variabel. Jenis truk yang digunakan untuk pengiriman dan rute perjalanan truk yang dipakai adalah variabel, sedangkan lokasi gudang customer adalah parameter. Tujuan dari metode solusi adalah menentukan nilai actual variabel, misalnya menentukan level produksi, jenis truk dan rute yang dpakai.
Ada empat konsentrasi utama ketika menerapkan model riset operasi :
  1. Feasibility (dapatkan kita melakukan ini ?)
  2. Optimality(apakah ini adalah yang terbaik yang dapat kita lakukan dengan apa yang kita punya ?)
  3. Sensitivity(apa yang terjadi, jika beberapa parameter atau kondisi masukan keluar dari control)
  4. Implementability (apakah solusi yang sudah didapatkan sebenarnya dapat dilakukan ?)
            Keempat fungsi manajemen (POAC), merupakan hal yang sifatnya umum dan mendasar bagi setiap manajer di semua bidang. Di samping adanya fungsi-fungsi manajemen tadi, maka seorang manajer personel harus juga memiliki kemampuan dalam fungsi-fungsi operasional. Fungsi-fungsi operasional tersebut adalah perolehan pegawai, pengembangan, pemberian imbalan, integrasi, pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja.
            Dalam pembelajaran riset operasional pun diharapkan mempunyai kompetensi: memahami perkembangan/isu penting terbaru (important issue) dan permasalahan dalam pengelolaan/manajemen didasarkan pada Riset Operasional, menjelaskan milestone peran strategis Riset Operasional dalam aktifitas Management Science, memahami konsep dasar dan kajian-kajian dalam Riset Operasional secara komprehensif, melakukan analisis kasus (identifikasi masalah, analisis situasi, tinjauan teoritis, dan rekomendasi solusi masalah) untuk memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan Riset Operasional, dan menguasai software Riset Operasional POM for Windows untuk memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan Riset Operasional.
            Riset operasi berkaitan dengan model kuantitatif dan solusinya. Dalam kenyataanna, dimana sejumlah orang membuat perbedaan : mereka mengklaim bahwa manajemen sains paling banyak berkonsentrasi dengan model, riset operasi hanya memberikan metode solusi. Model yang dibangun pada scenario yang diberikan adalah (diharapkan mendekati) gambaran  dari kenyataannya. Model yang dibangun tidak pernah memasukkan semua komponen dan situasi nyata, fitur seperti beberapa pilihan criteria yang digunakan oleh konsumen tidak sepenuhnya diamati dan akan diabaikan, penghindaran resiko pembuat keputusan, dimana hal tesebut mungkin dimasukkan pada beberapa tingkat model pembuatan keputusan, tidak secara lengkap dijelaskan dan akan diperkirakan atau diabaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Sri Mulyono, 2004, Riset Operasi, Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Eko Prasetyo, ms2011-modul-1-pengenalan-ro.

TUGAS MPD SEMESTER 4


BAB I
PENDAHULUAN

            Banyak fenomena di Indonesia menjadi sebuah dilema bagi sebagian besar orang. Bahkan banyak juga yang tidak tahu dan atau tidak mau tahu akan apa yang sedang dilanda oleh tanah air tercinta, Indonesia. Perkembangan demi perkembangan tidak sepenuhnya dijalani dengan kesadaran.
            Ketidak ingin tahuan dari masyarakat public, khususnya bagi para generasi penerus harus diubah menjadi rasa keingintahuan. Dengan demikian akan menimbulkan rasa simpatik, keperdulian akan perkembangan, kemajuan dari tanah air kita, Indonesia. Tanpa melupakan bahkan meninggalkan adat budaya dari nenek moyang dan para pejuang terdahulu serta berpedoman, mengacu pada ajaran agama.
            Penulis mencoba menguraikan informasi yang dikupas mengacu pada soal yang diberikan, antara lain :
1.      Mengapa Yogyakarta menjadi daerah Istimewa? Coba evaluasi apa penyebab, baik secara sejarh dan perkembangan!!
2.      Mengapa Aceh memiliki otonomi khusus ? Serta mengapa Aceh memiliki partai lokal, apa tujuan pemerintah dari partai lokal tersebut sedangkan daerah lain tidak?
3.      Mengapa Papua memiliki otonomi khusus dan mengapa Papua memiliki partai lokal? Serta apa tujuan pemerintah dari partai lokal tersebut sedangkan daerah lain tidak?
4.      Mengapa DKI Jakarta menjadi daerah khusus Ibu Kota?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

A.    SEKILAS TENTANG YOGYAKARTA
            Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah Negara.

B.     SIDANG PPKI MEMBAHASA DAERAH ISTIMEWA (19 AGUSTUS 1945)
            Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
            Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.

C.     SEJARAH DI YOGYAKARTA
           
            Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946), Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada 1945.

Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:
a)      Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat
b)      Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat
c)      Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat
d)     Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat
e)      Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat

Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
a)      Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat
b)      Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang

            Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
            Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946), memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
            Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
            Saat Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946), Wilayah DIY dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946 Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18 ). Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut.
            Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman). Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan.
            Adapun yang menjadi landasan hukum pembentukan DIY yakni Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950  (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950  (BN 1950 No. 48).
            Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950  (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A N sebuah Propinsi. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional.

D.    KELEBIHAN YOGYAKARTA

            Kota Yogyakarta tidak diragunakan diragukan memiliki keuntungan lebih jika dibandingkan dengan Jakarta.

a)      Keuntungan pertama: Universitas Terbaik. Tentu, Jakarta memiliki beberapa universitas berkualitas baik, namun Yogyakarta dan Bandung memiliki universitas terbaik di Indonesia. UGM di Yogyakarta, belum lagi berbagai universitas kecil lain dan beberapa diantaranya bahkan fokus ke teknologi dan engineering.
          Universitas terbaik adalah faktor yang sangat penting karena mengundang orang dari luar daerah dari kota dimana universitas itu berada untuk hijrah dan menuntut ilmu, dan para lulusan yang ada memiliki kecenderungan untuk tetap tinggal untuk bekerja setelah lulus kuliah. Ini membawa jumlah SDM yang siginifikan yang bisa diserap oleh perusahaan, dan tentu populasi kalangan muda yang produktif dan terdidik merupakan keuntungan yang signifikan, terutama bagi perusahaan teknologi yang tergantung pada inovasi konstan yang biasanya didorong oleh kalangan muda.
          Nilai plus lain yang dimiliki Yogyakara adalah dukungan budaya atas kreativitas dan keinginan untuk menjadi berbeda. Jika Anda meluangkan waktu yang cukup lama di Jakarta, dan Yogyakarta maka Anda akan menyadari jika orang di Jakarta tidak bertoleransi pada kreativitas dan hanya terdapat sedikit dosis kegilaan (dalam makna positif) jika dibandingkan dengan Yogyakarta. Lebih banyak artis yang bisa ditemukan di Yogyakarta daripada di Jakarta.
b)      Keuntungan kedua, melihat sisi infrastruktur, Yogyakarta berada di level yang sama dengan Jakarta, bahkan bisa jadi lebih baik. Bandara, akses listrik, dan koneksi internet yang cepat. Dua kota ini memiliki semuanya. Bahkan, salah satu kelemahan yang dimiliki Jakarta sebagai pusat kegiatan bisnis adalah tidak terdistribusi dengan baik layaknya di Yogyakarta. Kegiatan bisnis di Jakarta pada dasarnya terpusat di tengah Jakarta dan terlalu terkotak-kotek di area tertentu, sedangkan di Yogyakarta kegiatan bisnis terdistribusi dengan baik ke seluruh kota.
           
E.     SUBSTANSI KEISTIMEWAAN DIY

            Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940; Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam VIII tanggal 19 Agustus 1945; Amanat 5 September 1945; Amanat 30 Oktober 1945; Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949; Penjelasan pasal 18,UUD 1945; Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945; Pasal 2, UU NO. 3/1950; Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986.

            Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal : Pertama, Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia; Kedua, Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950); Ketiga, Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta TETAP DALAM KEDUDUKANNYA dengan ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya). Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut - larut disebabkan oleh :

1)      Pertama, manuver politik terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 (radar jogja,28/9/10) serta penolakan HB X menjadi gubernur yang tertuang dalam orasi budaya pada saat ulang tahun ke 61 pada tanggal 7 April 2007, setelah melakukan melakukan laku spiritual memohon petunjuk Tuhan memutuskan untuk tidak bersedia menjabat gubernur setelah periode kedua masa jabatannya berakhir 2008 (radar jogja, 29/9/10);
2)      Kedua, setiap produk undang - undang yang mengatur tentang pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, UU No. 32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal - usul suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang - undang Dasar 1945, pasal 18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 b (ayat 1 & 2);
3)      Ketiga, pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas;
4)      Keempat, ketidak pahaman para penerus & pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI;
5)      Kelima, perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan Sistem Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistem & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistem demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila;
6)      Keenam, proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena sesuai UU No.3/1950 & Kontrak Politik antara Kasultanan & Pakualaman dengan Bung Karno memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana walikota, bupati, lurah yang dipilih secara langsung dipilih oleh rakyat sesuai amandemen UUD 45 & UU No. 32/2004.



2.2. ACEH MEMILIKI OTONOMI KHUSUS dan PARTAI LOKAL

            Kesejahteraan masyarakat Aceh merupakan harapan yang harus dicapai sebagai amanah dari indatu kita. Sebagai wilayah modal di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Aceh memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah dan didukung oleh letak geografis yang sangat strategis, terletak di antara Samudera Hindia dan Selat Malaka. Tidak hanya itu, Aceh juga memiliki sumber daya manusia yang cerdas dan terampil. Sejarah telah mencatat bahwa Aceh telah pernah meraih zaman keemasan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, dan pemerintahan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
            Kejayaan yang pernah dirasakan tersebut akan kita wujudkan bersama pada periode Tahun 2012-2017. Periode ini merupakan tahap kedua dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA) Tahun 2005 - 2025. Pelaksanaan pembangunan pada tahap pertama Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA) 2005-2012 menekankan pada pembangunan pasca konflik dan penanganan korban bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004. Namun, kita menyadari bahwa pembangunan tahap pertama tersebut masih menyisakan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan yang perlu dibenahi.
Lahirnya  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai wujud kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, telah memberi peluang yang sangat besar untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh. UUPA idealnya menjadi pondasi bagi pelaksanaan pembangunan Aceh ke depan. Untuk itu, tahap pembangunan kedua ini akan diprioritaskan pada proses keberlanjutan reintegrasi dan konsolidasi perdamaian hasil nota kesepahaman (MoU) Helsinki dan implementasi UUPA yang masih belum terlaksana dengan baik.
            Bila dilihat dari capaian pembangunan tahap pertama, ada beberapa permasalahan yang masih dihadapi Aceh ke depan antara lain:
a.      Belum Optimalnya pelaksanaan UUPA  sebagai wujud MoU Helsinki.  Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 2006 telah merubah paradigma tatanan sosial kemasyarakatan di Aceh dan merupakan tonggak sejarah perjalanan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Aceh.
b.      Masih tingginya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN),  mengakibatkan inefisiensi pemanfaatan anggaran pembangunan dan sekaligus memicu biaya ekonomi tinggi.  Pratik KKN menimbulkan persaingan tidak sehat sekaligus mematikan kreatifitas dan produktifitas masyarakat.  Disamping itu, juga proses pembangunan akan lebih berpihak pada kepentingan kelompok tertentu daripada kepentingan masyarakat umum. 
c.       Pelaksanaan nilai-nilai Dinul Islam di Aceh yang belum maksimal, terutama disebabkan karena masih kurangnya pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama di kalangan masyarakat. Berbagai perilaku masyarakat masih banyak yang bertentangan dengan moralitas dan etika agama.
d.      Masih tingginya tingkat kemiskinan di Aceh. Penduduk miskin di Aceh pada tahun 2011 tercatat sebesar 19,48 persen, masih lebih besar dari penduduk miskin tingkat nasional yang hanya sebesar 12,36 persen. Disamping itu, Indeks Kedalaman Kemiskinan sebesar 3,483 dan Indeks Keparahan Kemiskinan sebesar 0,936 (BPS, September 2011). Sebaran penduduk miskin Aceh, lebih dominan berada di pedesaan, (80,14%), sedangkan diperkotaan hanya 19,86%. Hal ini mencerminkan bahwa dampak dari pembangunan belum memberikan pengaruh signifikan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan.
e.       Masih tingginya tingkat pengangguran terbuka (TPT). Walaupun tingkat pengangguran terbuka di Aceh pada tahun 2011 mengalami penurunan, namun kondisi tersebut tergolong masih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata nasional. Tingkat pengangguran terbuka di Aceh pada tahun 2011 tercatat sebesar 7,43 persen, sementara angka pengangguran terbuka Nasional  hanya sebesar 6,8 persen. Jika dilihat dari sisi gender, keberadaan pengangguran terbuka perempuan tahun 2011 mencapai 8,50 persen lebih tinggi 1,70 persen dibandingkan pengangguran terbuka laki-laki sebesar 6,80 persen.
f.       Keterlibatan peran swasta dalam pembangunan Aceh masih rendah. Struktur perekonomian Aceh masih didominasi oleh konsumsi pemerintah. Partisipasi pihak swasta belum menunjukkan pengaruh yang besar terhadap pembangunan Aceh. Pihak swasta masih sangat tergantung pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).  Di sisi lain, pemerintah daerah sangat mengharapkan investasi swasta, baik yang bersumber dari pengusaha lokal yang ada di daerah, atau pengusaha daerah yang berada di luar daerah, ataupun kemampuan pengusaha daerah untuk menarik pengusaha luar daerah bahkan dari luar negeri untuk berinvestasi.
g.      Sektor Koperasi dan UMKM belum berkembang dengan baik. Sektor Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) merupakan salah satu sektor yang sangat strategis dalam menunjang perekonomian daerah sekaligus mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun demikian, sektor ini belum berkembang secara optimal. Misalnya pada tahun 2010, data Kementerian Koordinator Perekonomian menunjukkan bahwa daya serap Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Propinsi Aceh hanya sebesar 0,8% dari total plafon nasional sebesar Rp 24 trilliun.
h.      Rendahnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam  yang berdaya guna dan berhasil guna dan berkelanjutan. Sistem pengelolaan sumberdaya alam kurang memperhatikan kondisi alam, sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan dan kelangsungan pembangunan daerah,.  Hal ini dapat dilihat dari sistem pengelolaan hutan, pertambangan, perkebunan, pesisir dan kelautan yang berdampak pada kerusakan ekosistem, bencana alam, dan tatanan kehidupan sosial masyarakat secara luas. Pemanfaatan sumber daya alam yang baik, selain dapat membuka lapangan kerja baru juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
i.        Pertumbuhan ekonomi Aceh masih rendah. Lemahnya pengelolaan sumber daya alam, keuangan, dan sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi sejauh ini, mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di Aceh mengalami instabilitas. Berdasarkan data Bank Indonesia  pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Aceh hanya sebesar 5,02 persen, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Nasional yang tercatat sebesar 6,5 persen. Disamping itu, jika dilihat dari perkembangan beberapa tahun terakhir (2007-2011), pertumbuhan ekonomi Aceh menunjukkan kecenderungan yang fluktuatif. Hal ini menggambarkan bahwa pondasi struktur ekonomi Aceh masih lemah dan labil. Perubahan harga jual komoditi migas dan produk pertanian di pasaran dunia sangat mempengaruhi nilai sumbangan produk yang paling dominan dalam struktur ekonomi Aceh.
            Berdasarkan permasalahan yang telah di kemukakan di atas, maka yang menjadi agenda utama pembangunan Aceh akan dituangkan dalam Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh Tahun 2012-2017.
            Perjuangan rakyat Aceh yang menginginkan kemerdekaan mendapat simpati yang minimal di dalam negeri. Ada beberapa alasan yang mungkin mendasari akan rendahnya interest masyarakat Indonesia dalam menanggapi perjuangan rakyat Aceh. Pertama, ada sebuah bentuk ikatan pemikiran Orba yang sampai sekarang masih melekat ditengah masyarakat bahwa Aceh lepas karena ingin mendirikan negara Islam ( Seperti yang didengungkan GAM). Dan selama ini gambaran tentang negara Islam sendiri sangat buruk-terlepas dari pembahasan empiris maupun teoritis yang bersifat kontroversial. Yang kedua, ada pengaruh trauma terhadap apa yang terjadi dengan Timor-Timur belum lama ini. Untuk itu, tidak sedikit analisis para tokoh yang menyimpulkan bahwa lepasnya Aceh sama dengan menggulirkan proses disintegrasi bangsa Indonesia secara keseluruhan terlepas dari sisi historis eksistensi Aceh bagi Indonesia selama ini. Dan pada ujung-ujungnya gambaran Indonesia sebagai Yugoslavia kedua semakin menguat jika ini terjadi. Dan belum lama ini sudah terjadi di Irian Jaya pendirian bendera yang disaksikan ribuan rakyat Irian.
            Tentu situasi ini memberikan implikasi khusus bagi masyarakat Indonesia sehingga mengabaikan faktor-faktor khusus penyebab sebenarmya dari tuntutan rakyat Aceh. Situasi demikian memiliki dorongan positif bagi pemerintah dan sebaliknya semakin memojokkan rakyat Aceh, yang tentunya bisa berakibatkan pada dua arah antara cooling down secara psikologis bagi tawaran rakyat Aceh atau malah menimbulkan antagonisme yang semakin menguatkan perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah.
            Saat ini birokrasi pemerintahan, MUI dan semua unsur masyarakat telah larut dalam kata referendum. Namun begitu, akutnya permasalahan Aceh ternyata tidak membuat presiden kita mencari kompromi yang real secepatnya dengan rakyat Aceh. Sedangkan pada saat ini, anak-anak di Aceh tidak mendapatkan pendidikan normal karena gedung-gedung sekolahan dibakar oleh kelompok orang yang tidak bertanggungjawab, terjadinya eksodus besar-besaran, fungsi keamanan lumpuh total, terjadinya kejahatan-kejahatan, beredarnya rumor-rumor yang menggelisahkan dll.
            Sebagai komitmen bersama atas perdamaian antara Pemerintahan RI dengan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ), maka dilahirkanlah Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ( UUPA ). UUPA merupakan harapan baru bagi masyarakat aceh untuk mewujudkan kesejahteraan dalam perdamaian abadi. Tidak terasa pelaksanaan UUPA sudah masuk tahun ke 4 dan berbagai perubahan positip sudah dirasakan oleh sebagian masyarakat Aceh. Tetapi disisi lain masih banyak tantangan yang harus dihadapi sebelum UUPA ini menjadi payung hukum dan menjadi ruh dari perubahan yang ingin dicapai oleh masyarakat Aceh ke arah yang lebih baik.
            Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) merupakan satu tonggak sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh , karena dengan Undang-Undang ini tercurah harapan untuk terciptanya perdamaian yang langgeng, menyeluruh, adil, dan bermartabat, sekaligus sebagai wahana pelaksanaan pembangunan dalam rangka mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera. UUPA sendiri terdiri dari 40Bab dan 273 Pasal.
            Berikut ini beberapa kekhususan pengaturan yang terdapat pada UUPA, antara lain:
a)      Kewenangan Khusus
b)      Lembaga di Daerah
c)      Gubernur Aceh
d)     Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota ( DPRA/K )
e)       Partai Politik Lokal
f)        Wali Nanggroe
g)      pengakuan terhadap Lembaga Adat
h)       Syari’at Islam, Mahkamah Sya’iyah
i)        Pengadilan HAM di Aceh
j)        Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) di Aceh
k)      Pengelolaan Sumber Daya Alam, Keuangan, Pertanahan.
            Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain :
a.       Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
b.      Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
c.       Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
d.      Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
e.       Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
    Namun dalam pelaksanaan dan implementasinya, UU 11/2006 masih jauh dari yang diharapakan. Contohnya tentang fungsi legislasi, budgeting dan controling yang dilakukan oleh DPRA dan semakin meluasanya peluang korupsi, serta masalah pengakuannya partai politik lokal aceh. Mutu pendidikan aceh masih berada di urutan bawah, besarnya anggaran dinas pendidikan tidak serta-merta dapat meningkatkan kualitas pendidikan.
             Seharusnya jika pengawasan disektor publik ini dilakukan secara maksimal dan menyeluruh oleh anggota DPRA, dapat dipastikan seluruh persoalan yang timbul dan penyalahgunaan wewenang oleh pihak eksekutif dalam menggunakan anggaran Aceh akan dapat diminimalisir dan wibawa DPRA sebagai wakil rakyat akan meningkat.
            Otonomi khusus yang diberikan pemerintah dengan segala keistimewaannya tidak serta merta juga membuat kinerja pemerintahannya berjalan dengan bagus. Sangat disayangkan pula apabila semangat makar yang berkumandang keras dahulu tidak berjalan lurus dengan pengelolaan dan komitmen para pemangku kepentingan untuk kepentingan publik. Yang ada sekarang ialah timbulnya gejala korupsi yang merebak di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, dan bisa juga sedang menjadi tren disana. Harian aceh.com mencatat kasus korupsi di serambi mekah itu mencapai 141 kasus yang masih mengambang di kejaksaan, 43 kasus diantaranya tahap penuntutan dan 54 lainnya tahap penyidikan .
            kita bisa mencermati dan mengkaji Qanun atau peraturan daerah sebagai acuan kita mengkaji lebih mendalam tentang maraknya korupsi di Aceh ( undang-undang no 11 tahun 2006). Performa kinerja lembaga-lembaga terkait penegakan hukum juga menjadi pangkal dari maraknya korupsi. Hal ini bisa tercermin dari perilaku ke 6 lembaga ini yang melakukan jual beli proyek, kesepakatan diluar ruangan, lobi-lobi informal, jual-beli kasus dan semua proses dibelakang meja yang terjadi di lingkungan lembaga-lembaga tersebut.  Hal inilah yang ikut memperburuk penuntasan korupsi di Aceh dengan birokrasi dan lembaga yang bobrok.
Beberapa tahun yang lalu di dalam Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia di Aceh telah meloloskan 12 partai lokal sebagai bagian dari realisasi kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia. Kehadiran partai lokal di Aceh secara tidak langsung menandai perubahan anatomi sistem kepartaian di Indonesia.  
            Keberadaan partai lokal ini sebenarnya sudah lama dikenal di masa demokrasi parlementer pada tahun 1950-an, seperti Partai Dayak di Kalimantan. Hanya saja sejak pada masa Orde Baru berkuasa dan jumlah partai dipangkas menjadi tiga partai (Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan), referensi tentang partai lokal hilang dari sistem kepartaian Indonesia yang kemudian lebih didominasi oleh wacana partai nasional. Sampai saat ini walaupun partai lokal telah mendapatkan status legalnya dari pemerintah, namun posisinya sebagai partai yang mempunyai hak untuk ikut serta dalam pemilihan umum (Pemilu) belum memperoleh kepastian. Masih ada keengganan atau kekhawatiran dari partai-partai nasional melalui fraksinya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk tidak memberikan ruang gerak yang lebih luas pada partai lokal untuk memasuki arena politik Pemilu.
            Namun bisakah partai lokal menjadi alternatif politik lokal? Memang tidak otomatis partai lokal bisa menjadi lebih baik dari partai nasional atau menjadi harapan masyarakat lokal. Partai lokal juga bisa terjebak penyakit sebagaimana yang diidap oleh partai nasional, seperti sifat paternalistik dan menguatnya elitisme lokal yang bersandar pada tokoh-tokoh lokal, serta praktik politik uang. Mampukah partai politik lokal Aceh menjalankan amanat sesuai dalam pasal 77, 78 dan 79 UU 11/2006  tentang kedudukan, tujuan dan fungsi partai politik lokal Aceh yang intinya adalah menciptakan kesejahteraan dalam lingkup demokrasi pancasila? Oleh karena itu, Partai Politik harus mengawasi setiap kader yang duduk di DPRA berdasarkan kinerja, dan memberikan sanksi bagi yang berkinerja rendah. Dalam menentukan kader yang akan duduk di Parlemen, Partai Politik harus mempertimbangkan basis pengetahuan dan wawasan legislatif.
             Namun secara geografi politik partai lokal memiliki kesempatan yang besar untuk dapat secara emosional bersentuhan langsung dengan konstituennya di tingkat akar rumput. Karena itu yang penting untuk diupayakan adalah bagaimana dapat membangun partai lokal yang modern dan berakar di masyarakat. Partai lokal di Aceh perlu dijadikan contoh yang baik agar kehadirannya bisa mengubah perspektif sistem kepartaian di Indonesia. Dengan demikian pemikiran tunggal bahwa partai politik haruslah partai nasional sudah harus mulai ditanggalkan.
Dalam menentukan kader yang akan duduk di Parlemen, Partai Politik harus mempertimbangkan basis pengetahuan dan wawasan legislatif.
             Namun secara geografi politik partai lokal memiliki kesempatan yang besar untuk dapat secara emosional bersentuhan langsung dengan konstituennya di tingkat akar rumput. Karena itu yang penting untuk diupayakan adalah bagaimana dapat membangun partai lokal yang modern dan berakar di masyarakat. Partai lokal di Aceh perlu dijadikan contoh yang baik agar kehadirannya bisa mengubah perspektif sistem kepartaian di Indonesia. Dengan demikian pemikiran tunggal bahwa partai politik haruslah partai nasional sudah harus mulai ditanggalkan.

2.3. PAPUA MEMILIKI OTONOMI KHUSUS dan PARTAI LOKAL          

            Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia. Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.
            Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU 21/2001. Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.
            Dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil pemekarannya) mendapat bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai berikut:
a)      Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)
b)      Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen)
c)      Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)
d)     Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
e)      Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
f)       Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)
g)      Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)
h)      Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).
            Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak bumi dan gas alam dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi.
            Pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), hingga 1 Januari 2011 telah memasuki tahun ke sepuluh. Jika diteropong sedikit kebelakang, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang kini menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Khusus Papua ini, ditetapkan oleh DPR RI pada 22 Oktober 2001. Kemudian oleh Presiden Megawati, UU tersebut disahkan 21 November 2001 dan dinyatakan berlaku mulai 1 Januari 2002. Secara umum, status Otonomi Khusus bagi Tanah Papua akan melekat selama 25 tahun ke depan, yakni hingga tahun 2026.
            Berdasarkan substansi Otsus Papua, pembangunan harus dititik beratkan pada sektor pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur. Disinilah banyak pihak kemudian menaruh harapan agar lewat payung Otonomi Khusus, tercipta kerangka pembangunan yang menempatkan orang asli Papua sebagai pelaku utama atau tidak lagi menjadi penonton pembangunan di tanah leluhurnya sendiri. “Bukan hanya itu, melalui Otsus pula tercipta ruang perwujudan emansipasi, peningkatan harkat dan martabat orang asli Papua,” demikian harapan mantan Gubernur Papua, almh. Dr. J.P. Solossa.
            Harapan itu kemudian tertuang dalam bukunya, “Otonomi Khusus Papua mengangkat martabat orang asli Papua dalam NKRI.” Filosofi dasar itulah yang telah menjadi amanat pemberlakuan Otonomi Khusus bagi wilayah yang bergabung ke dalam NKRI sejak 1 Mei 1963 silam. “Sejatinya Otsus juga menjadi suatu formula politik yang mujarab untuk meredam keluhan pembangunan dan tuntutan merdeka yang terus disuarakan orang Papua,” kata Simon Nick Messet, repatrian asal Papua yang pernah menjadi aktivis OPM di PNG dan beberapa negara Eropa. Ia berharap lewat Otonomi Khusus Papua pula, ada harapan untuk membangun mass depan Papua dalam bingkai NKRI.
            Dengan begitu, sejumlah aktivis Papua di luar negeri yang saat ini tidak setuju soal bergabungnya Tanah Papua ke dalam NKRI bisa kembali ke kampung halamannya untuk membangun Papua. Memang secara kasat mata, realita sepuluh tahun pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang kini mencakup dua provinsi bersaudara Papua dan Papua Barat, telah menunjukan adanya trend pembangunan yang kian pesat. Hanya saja, sejumlah pihak di Papua menilai pembangunan itu masih lebih sebatas aspek fisik semata. Ada kesan, proses pembangunan belum sepenuhnya menempatkan orang asli Papua sebagai pelaku utama. Meski begitu, pembangunan yang telah terekam dalam beberapa tahun terakhir ini patut diapresiasi.
            Otonomi Khusus Papua yang identik dengan kucuran “dana triliunan” dari Jakarta ke Papua juga menjadi faktor pemicu menjamurnya bangunan-bangunan modern milik Pemda dan swasta di seantero tanah Papua. Mulai dari ruko, mall, supermarket, hotel berbintang, perkantoran megah, bank, sekolah, puskesmas, rumah sakit, tempat ibadah, hingga bangunan fisik lainnya, ramai menjajali area perkotaan sejumlah ibukota kabupaten. Kawasan-kawasan pinggiran yang tadinya tampak tak bernilai karena ditumbuhi semak belukar, alang-alang, kebun, kolam kangkung dan tanah-tanah kosong yang tandus, kini disulap jadi areal yang dipenuhi bangunan megah serta padat penduduk.
            Pandangan para tokoh Papua terhadap realitas Otonomi Khusus Papua itu memang cukup beralasan jika dicermati berdasarkan fakta yang terjadi akhir-akhir ini. Hanya saja, sebenarnya ada sejumlah pihak yang telah ikut memberikan sumbangsi pemikiran bagi perbaikan Otsus Papua dan pasang surut hubungan Papua-Jakarta. Salah satunya kelompok peneliti dari LIPI yang dikoordinir Dr. Muridan S.Widjojo dan kawan-kawan. Berdasarkan hasil penelitian mereka, disimpulkan terdapat 4 (empat) akar persoalan Papua yang kemudian terurai dalam buku “Papua Road Map,” atau Peta Jalan Papua.
            Beberapa para ahli menyarankan beberapa alternatif pemecahan yakni Empat akar persoalan itu mencakup; pertama, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik orang Papua. Kedua, kekerasan negara terhadap orang Papua di masa lalu. Ketiga, diskriminasi terhadap orang asli Papua. Keempat, kegagalan implementasi pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk mereduksi empat permasalahan tersebut, kelompok LIPI

2.4. DKI JAKARTA MENJADI IBU KOTA
           
A.    SEJARAH ZIONIS JAKARTA

            Kota Jakarta itu dibangun oleh para Freemason Indonesia. Sejak pembangunan Stadhuis, Gedung Gubernur Jenderal Batavia Jakarta ini dulu Gedung Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah (kordinat: 6°8’7.2377”S 106°48’48.164”E) di tahun 1707 hingga sekarang, para Freemasonry ini terus membangun Jakarta dan menyisipkan aneka simbol ‘pagan’nya ke ibukota. luas keseluruhan Museum Fatahillah adalah 13.000 meter persegi.
            Peta pusat wilayah elit Menteng, Jakarta Pusat setelah diputar 180 derajat, di mana sebelah bawah adalah arah utara. Salah satu bangunan yang berada di dalam kepala binatang bertanduk atau Baphomet adalah lokasi Loji Adhucstat atau yang kini dijadilan Gedung BAPPENAS.  Struktur piramida keanggotaan Freemansory juga terdiri dari 13 tingkat, batu istana DAM di depan Museum Fatahillah tersusun atas 13 baris dan gerbang utama Museum Fatahillah terdiri dari 13 buah batu berbentuk Arch ,dimana tiga belas adalah nomer baik untuk para Freemason.
            Renovasi Air Mancur bundaran Hotel Indonesia (kordinat 6.1949711S 106.8230563E) di tahun 2001 sarat dengan simbolisme Kabbalah (yang merupakan campuran antara ilmu perbintangan, ilmu sihir zaman Firaun dan Raja Nimrodz, dan paganisme lainnya) dimana proyeknya mengambil tema sentral “Cahaya” atau “Illuminati“. Bundaran Air Mancur Hotel Indonesia yang telah direnovasi dengan tema sentral CAHAYA (Lucifer). Dari atas terlihat bagai sebuah mata (Horus) di pusat Ibukota. Ratusan simbol Kabbalah bertebaran di Museum Taman Prasasti (kordinat 6.1722143S 106.8188667E) di Tanah Abang. Ada sebuah makam di Museum Prasasti Tanah Abang yang tidak bernama namun memiliki simbol Grand Master Freemasonry.
            Dibawah tanah Jakarta ada berbagai terowongan rahasia yang saling terhubung, yang sampai sekarang pintunya masih bisa disaksikan di berbagai tempat. Masjid Istiqlal dibangun diatas sebuah benteng Belanda yang dikenal sebagai Benteng Tanah karena dibawahnya ada terowongan rahasia. Dan masih banyak kejutan-kejutan fakta lainnya meliputi Jakarta. Diramu dengan kisah pembunuhan terhadap tokoh neolib negeri ini, novel “The Jacatra Secret” terasa begitu renyah dan akan mengubah paradigm kita tentang Jakarta dan bangsa ini secara keseluruhan.

B.     RAHASIA YANG TERSEMBUNYI DARI SEBUAH BANGUNAN MUSEUM SEJARAH JAKARTA

            Mulai dari susunan batu khusus yang terletak tepat di depan sebelah kanan pelataran utamanya, gerbang utama yang berupa batu lengkung dan keystone dengan simbol bunganya serta patung Dewa Hermes yang terletak dibagian belakang gedung. Misteri dibalik angka 13 yang menyelimuti keseluruhan bangunan tersebut dengan Hollywood merupakan sebuah penyampai pesan yang digunakan kelompok Luciferian kepada seluruh umat manusia di dunia.Wilhelmina Park Oude Fort terdapat "Benteng Tanah" Frederik Hendrik, yang kini menjadi Mesjid Istiqlal Jakarta, dibangun oleh Gubernur Jenderal Van De Bosch tahun 1834. Selain berfungsi sebagai kebun sayur bagi para opsir Belanda di wilayah tersebut, juga merupakan tempat tamasya bagi para pembesar Kompeni.
            Taman ini terluas yang pernah ada di Batavia, bahkan taman modern terbesar di Asia kala itu. Para pembesar Belanda, para tuan-tanah dan orang-orang kaya tiap akhir minggu selalu menyempatkan diri datang kesini membawa keluarga bersantai dari rutinitas yang melelahkan. Benteng Frederik Hendrik yang terletak di tengah-tengah Wilhelmina Park dibangun 1834, juga oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch. Kabarnya benteng tua yang sudah lama di bongkar ini ada terowongan menuju Pasar Ikan. Bayangkan betapa panjangnya terowongan itu.
            Lambang atau Logo kedokteran Indonesia menyerupai persis dengan logo Brotherhood of the Snake atau Kelompok Persaudaraan Ular, merupakan nama sebuah kelompok pengikut iblis yang paling awal lahir di dunia. Dari berbagai literatur sejarawan Barat, seperti yang ditulis J. Robinson dalam ‘The Secret Society’, kelompok persaudaraan ular inilah yang mengemban misi menyebarkan kesesatan kepada umat manusia sejak zaman Nabi adam a.s. hingga zaman kiwari. Bahkan diduga kuat jika dari kelompok inilah lahir gerakan-gerakan penyesatan terhadap agama-agama samawi dunia. Kabbalah dan Talmud, sebagai doktrin iblis yang sampai sekarang dipercaya dengan segenap jiwa dan raga oleh kalangan Zionis sebagai pandangan hidup, juga berasal dari kelompok ini.

C.    LATAR BELAKANG

            Jakarta sebagai ibu kota negara ditetapkan secara otomatis dan historis setelah indonesia menyatakan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945. Hal ini berkaitan dengan sejarah berjalannya penjajahan di Indonesia, dimana belanda sebagai penjajah menempatkan ibu kota di jakarta. Hal ini ditandai dengan adanya pusat pemerintahan di kota ini dengan semua kelengkapan yang menyertainya yaitu gedung-gedung dan kantor pemerintahan serta adanya istana negara.
            Kalau kita telusuri sejarah perkembangan jakarta yang semula dinamai “Jayakarta” yang berarti “kota kemenangan” yaitu ditaklukkannya Portugis sebagai penguasa Bandar Sunda kelapa pada 22 juni 1527 oleh pasukan Faletehan dari Cirebon yang didukung oleh Sultan Demak, maka kuasa dipegang Pangeran Jayakarta. Dengan kedatangan belanda di wilayah nusantara yang juga hendak melakukan perdagangan masuk tahun 1596, tetapi tidak beroleh tempat di banten yang waktu itu bermitra dagang dengan Inggris, maka Belanda membuat perjanjian dengan pangeran jayakarta yang merupakan fazal Banten dengan menempatkan pos dagangnya di Sunda Kelapa.
            Dengan berlalunya waktu, Belanda pada tahun 1619 memerangi Pangeran Jayakarta dan membakar kota jayakarta yang waktu itu berpenduduk 10 ribu jiwa, yang menyebabkan Pangeran Jayakarta tergusur ke wilayah Jatinegara kaum. Dari wilayah ini diusahakan  kembali menyerang pusat kegiatan Belanda dan dengan bantuan Sultan Agung telah berkali-kali diserang, terakhir pada tahun 1628 dengan memusatkan pasukan di daerah Bekasi dan Kerawang dan pos terdepannya ada di Matraman. Kawasan kota ini berasal dari penempatan tentara Mataram. Sejarah mencatat bahwa Gubernur Jenderal Jan Pietersen Coen dapat dipenggal kepalanya oleh tentara Mataram sebagai Gubernur Jenderal VOC pertama.
            Peta Batavia tahun 1740. Wilayah Batavia di dalam dinding kota serta paritnya dan Pelabuhan Sunda Kelapa di kiri (utara) peta membentuk Kota Tua Jakarta. Tahun 1526, Fatahillah, dikirim oleh Kesultanan Demak, menyerang pelabuhan Sunda Kelapa di kerajaan Hindu Pajajaran, kemudian dinamai Jayakarta. Kota ini hanya seluas 15 hektar dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Tahun 1619, VOC menghancurkan Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu tahun kemudian, VOC membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah.Penduduk Batavia disebut "Batavianen", kemudian dikenal sebagai suku "Betawi", terdiri dari etnis kreol yang merupakan keturunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia.
            Tahun 1635, kota ini meluas hingga tepi barat Sungai Ciliwung, di reruntuhan bekas Jayakarta. Kota ini dirancang dengan gaya Belanda Eropa lengkap dengan benteng (Kasteel Batavia), dinding kota, dan kanal. Kota ini diatur dalam beberapa blok yang dipisahkan oleh kanal. Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650. Batavia kemudian menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur. Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah tropis di dalam dinding kota karena sanitasi buruk. Kota ini mulai meluas ke selatan setelah epidemi tahun 1835 dan 1870 mendorong banyak orang keluar dari kota sempit itu menuju wilayah Weltevreden (sekarang daerah di sekitar Lapangan Merdeka). Batavia kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda. Tahun 1942, selama pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta dan masih berperan sebagai ibu kota Indonesia sampai sekarang.Tahun 1972, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, mengeluarkan dekrit yang resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs warisan. Keputusan gubernur ini ditujukan untuk melindungi sejarah arsitektur kota — atau setidaknya bangunan yang masih tersisa di sana. Meski dekrit Gubernur dikeluarkan, Kota Tua tetap terabaikan. Banyak warga yang menyambut hangat dekrit ini, tetapi tidak banyak yang dilakukan untuk melindungi warisan era kolonial Belanda.

TEMPAT YANG SUDAH DIHANCURKAN

Tugu Jam Kota Tua Jakarta
            Dalam pengembangan daerah Jakarta, pemprov DKI Jakarta menghancurkan beberapa bangunan atau tempat yang berada di daerah kota Tua Jakarta dengan alasan tertentu. Tempat tersebut adalah:
Benteng Batavia
            Gerbang Amsterdam (lokasinya berada dipertigaan Jalan Cengkeh, Jalan Tongkol dan Jalan Nelayan Timur. Dihancurkan untuk memperlebar akses jalan) Jalur Trem Batavia (Jalur ini pernah ada di kota Batavia, tetapi sekarang sudah ditimbun dengan aspal. Karena Presiden Soekarno menganggap Trem Batavia yang membuat macet)

TEMPAT MENARIK DAN BERSEJARAH

a.       Museum Wayang di Jakarta
b.      Jembatan Tarik Kota Intan
c.       Stasiun Jakarta Kota
d.      Kantor Pos di Kota Tua
            Sebagai permukiman penting, pusat kota, dan pusat perdagangan di Asia sejak abad ke-16, Oud Batavia merupakan rumah bagi beberapa situs dan bangunan bersejarah di Jakarta:
1)      Gedung Arsip Nasional
2)      Gedung Chandranaya
3)      Vihara Jin De Yuan (Vihara Dharma Bhakti)
4)      Petak Sembilan
5)      Pecinan Glodok dan Pinangsia
6)      Gereja Sion
7)      Tugu Jam Kota Tua Jakarta
8)      Stasiun Jakarta Kota
9)      Museum Bank Mandiri
10)  Museum Bank Indonesia
11)  Standard-Chartered Bank
12)  Kota's Pub
13)  VG Pub Kota
14)  Toko Merah
15)  Cafe Batavia
16)  Museum Sejarah Jakarta / Museum Fatahillah (bekas Balai Kota Batavia)
17)  Museum Seni Rupa dan Keramik (bekas Pengadilan Batavia)
18)  Lapangan Fatahillah
19)  Replika Sumur Batavia
20)  Museum Wayang
21)  Kali Besar (Grootegracht)
22)  Hotel Former
23)  Nieuws van de Dag
24)  Gedung Dasaad Musin
25)  Jembatan Tarik Kota Intan
26)  Galangan VOC
27)  Menara Syahbandar
28)  Museum Bahari
29)  Pasar Ikan
30)  Pelabuhan Sunda Kelapa
31)  Masjid Luar Batang
             Saat ini, banyak bangunan dan arsitektur bersejarah yang memburuk kondisinya seperti: Museum Sejarah Jakarta (bekas Balai Kota Batavia, kantor dan kediaman Gubernur Jenderal VOC), Museum Maritim Nasional, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Hotel Omni Batavia. Tetapi, masih ada usaha perbaikan Kota Tua, khususnya dari berbagai organisasi nirlaba, institusi swasta, dan pemerintah kota yang telah bekerjasama untuk mengembalikan warisan Kota Tua Jakarta. Tahun 2007, beberapa jalan di sekitar Lapangan Fatahillah seperti Jalan Pintu Besar dan Jalan Pos Kota, ditutup sebagai tahap pertama perbaikan.

D.    SYARAT ATAU KETENTUAN AWAL MENJADI IBU KOTA


            Ada beberapa alasan mengapa Jakarta baik untuk ekosistem yang sedang bertumbuh. Ketersediaan bandara international, menjadi pusat bisnis dan ibukota Indonesia adalah beberapa contoh kelebihan Jakarta. Kebanyakan bisnis memilki kantor pusat di Jakarta, saya tidak menyangkal hal tersebut, tetapi ada beberapa fakta umum yang membuat kota lain menjadi pilihan yang lebih baik untuk perusahaan teknologi dan industri.
            Ibukota selalu menjadi target bagi orang-orang untuk didatangi dan dijadikan tempat tinggal.  Selain faktor entitas politik dan pertumbuhan industri, tak jarang faktor keamanan dan geografi serta geopolitik  menjadi alasan suatu daerah ditunjuk menjadi ibukota disamping dianggap tempat yang netral dan bebas dari nilai-nilai suatu etnis atau budaya bila kita hidup di negara yang multikultural atau multietnis.
            Kepala Demografi FE UI Sonny Harry pernah menyatakan ada enam syarat awal yang harus dipenuhi daerah yang akan menjadi ibukota, yaitu :
a.       Memiliki jaringan yang baik dan terhubung dengan pusat aktivitas politik,
b.      Memiliki kepadatan penduduk yang relatif rendah,
c.       Memungkinkan daerah itu untuk berekspansi dalam jangka waktu panjang,
d.      Memiliki risiko relatif rendah terhadap bencana alam,
e.       Aman dalam perspektif pertahanan dan ketahanan nasional dan
f.       Memiliki risiko yang relatif rendah terhadap munculnya instabilitas sosial dan politik.
            Pendapat lain dari Profesor Sutikno bahwa  ibu kota negara yang ideal harus mempertimbangkan aspek spasial, ekologis, dan kewilayahan, maka perlu  antara lain tersedianya lahan yang sesuai, aman, nyaman, lingkungan sehat, bebas dari bahaya dan bencana, aksesibilitas dan arus informasi memadai, ketersediaan lahan untuk perwakilan negara sahabat (kedutaan), ketersediaan air bersih, fasilitas umum, fasilitas kesehatan, masyarakat sekitar kondusif, dan tidak menimbulkan ketimpangan antara wilayah. Namun aspek  ketersediaan sarana dan prasarana juga merupakan faktor penting sehingga perpindahan ke lahan yang luas tanpa ketersedian sarana dan prasarana akan menimbulkan pembangunan biaya mahal.

BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
           
            Yogyakarta pertama kali berstatus provinsi pada 5 September 1945, ketika Raja Ngayogyakarto Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Paku Alam VIII menyatakan bahwa Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan Soekarno Hatta pada 17 Agustus 1945. Pro dan kontra Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta mengerucut pada satu tema, Gubernur dipilih langsung oleh rakyat atau ditetapkan. Perbedaan pendapat antara Istana dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X semakin kentara saat wacana referendum mengemuka.         Pasal 18 Undang-undang 1945, DPRD DIY menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa "pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa".  Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, DIY dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman. Yogyakarta mungkin bukan pilihan terbaik bagi perusahaan untuk mendirikan kantor pusat mereka, tetapi pada dasarnya semua hal yang harus ada sebagai faktor pendukung bagi perusahaan teknologi untuk beroperasi, ada di dua kota ini. Dan di banyak sisi, lebih baik dari Jakarta.

            Undang – Undang no 11 tahun 2006 (UU 11/2006) lahir sebagai komitmen bersama atas perdamaian antara Pemerintahan RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mewujudkan kesejahtaraan dan perdamaian abadi serta memperjelas kedudukan dan fungsi Naggroe Aceh Darussalam sebagai salah satu provinsi yang memiliki otonomi khusus di Indonesia.    UU 11/2006 yang berisi tentang pengaturan-pengaturan, seperti 1. Kewenangan Khusus, 2. Lembaga di Daerah, 3. Gubernur Aceh, 4. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota ( DPRA/K ), 5. Partai Politik Lokal, 6. Wali Nanggroe, 7. pengakuan terhadap Lembaga Adat, 8. Syari’at Islam, 9. Mahkamah Sya’iyah, 10.Pengadilan HAM di Aceh, 11. Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) di Aceh, 12. Pengelolaan Sumber Daya Alam, 13. Keuangan, 14. Pertanahan. Ternyata dalam Permasalahan politik lokal Aceh seperti seperti sifat paternalistik dan menguatnya elitisme lokal yang bersandar pada tokoh-tokoh lokal, serta praktik politik uang, tentunya harus mampu diatasi dengan merujuk kembali kepada pasal 77, 78 dan 79 UU 11/2006  tentang kedudukan, tujuan dan fungsi partai politik lokal Aceh, dengan menciptakan pendidikan politik masyarakat dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila menuju kesejahteraan.
            Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia. Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing
            Jakarta sebagai ibu kota negara ditetapkan secara otomatis dan historis setelah indonesia menyatakan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945. Hal ini berkaitan dengan sejarah berjalannya penjajahan di Indonesia, dimana belanda sebagai penjajah menempatkan ibu kota di jakarta. Hal ini ditandai dengan adanya pusat pemerintahan di kota ini dengan semua kelengkapan yang menyertainya yaitu gedung-gedung dan kantor pemerintahan serta adanya istana negara. Jakarta menyimpan banyak cerita tentang sejarah masa lalu dan merupakan pusat / sentral bisnis.


3.2. SARAN  

            Kepada para pembaca yang ingin memperdalam berkenaan dengan materi, dapat membuka sistus yang tertera pada daftar pustaka.













DAFTAR PUSTAKA