BAB
I
PENDAHULUAN
Banyak
fenomena di Indonesia menjadi sebuah dilema bagi sebagian besar orang. Bahkan
banyak juga yang tidak tahu dan atau tidak mau tahu akan apa yang sedang
dilanda oleh tanah air tercinta, Indonesia. Perkembangan demi perkembangan
tidak sepenuhnya dijalani dengan kesadaran.
Ketidak
ingin tahuan dari masyarakat public, khususnya bagi para generasi penerus harus
diubah menjadi rasa keingintahuan. Dengan demikian akan menimbulkan rasa
simpatik, keperdulian akan perkembangan, kemajuan dari tanah air kita, Indonesia.
Tanpa melupakan bahkan meninggalkan adat budaya dari nenek moyang dan para
pejuang terdahulu serta berpedoman, mengacu pada ajaran agama.
Penulis mencoba menguraikan
informasi yang dikupas mengacu pada soal yang diberikan, antara lain :
1. Mengapa
Yogyakarta menjadi daerah Istimewa? Coba evaluasi apa penyebab, baik secara
sejarh dan perkembangan!!
2. Mengapa
Aceh memiliki otonomi khusus ? Serta mengapa Aceh memiliki partai lokal, apa
tujuan pemerintah dari partai lokal tersebut sedangkan daerah lain tidak?
3. Mengapa
Papua memiliki otonomi khusus dan mengapa Papua memiliki partai lokal? Serta
apa tujuan pemerintah dari partai lokal tersebut sedangkan daerah lain tidak?
4. Mengapa
DKI Jakarta menjadi daerah khusus Ibu Kota?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
A. SEKILAS TENTANG YOGYAKARTA
Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah
Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini
juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah
warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga
Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status
sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan
penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis),
India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan
terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda
status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang
disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik
berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di
bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian
juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia
Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi
sebagai sebuah Negara.
B. SIDANG PPKI MEMBAHASA DAERAH
ISTIMEWA (19 AGUSTUS 1945)
Di
Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI
membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin
dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo,
wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti
dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan
diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno
karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari
sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang
kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua
Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto
Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat
sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih
lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad
Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status
quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada
hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua
penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.Piagam tersebut
baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa
monarki dikeluarkan.
C.
SEJARAH DI
YOGYAKARTA
Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di
Yogyakarta (1945-1946), Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman)
beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada 1945.
Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan
Kesultanan Yogyakarta meliputi:
a)
Kabupaten
Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat
b)
Kabupaten
Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat
c)
Kabupaten
Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat
d)
Kabupaten
Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat
e)
Kabupaten
Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku
Alaman meliputi:
a)
Kabupaten
Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat
b)
Kabupaten
Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak
memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang
mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja.
Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem
Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama
Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
Penyelenggaraan Pemerintahan
Sementara Yogyakarta (1945-1946), memanfaatkan momentum terbentuknya Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan
ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo,
sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit
kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya
menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu
pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali
kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu
dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa
monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya
ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan
Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta
sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang
beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang
tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil
pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan)
Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu
menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan
terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan
Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam
satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut
dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan
17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan
pemerintah desa saat itu).
Saat Pembentukan DIY oleh Kerajaan di
Yogyakarta (1946), Wilayah DIY dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946 Sambil
menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana
pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP
DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang
mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18
). Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta
pada 24 April 1946. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan
diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana
maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No
18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut.
Dalam maklumat ini secara resmi nama
Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan
dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya
ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten
Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk
Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman). Tidak dipungkiri juga terdapat
perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki yang tercermin dengan adanya dua
tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga
nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan,
sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6
tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan.
Adapun yang menjadi landasan hukum
pembentukan DIY yakni Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia
memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota
di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Republik Indonesia
Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.DIY secara
formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950
(BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48).
Kedua UU tersebut diberlakukan mulai
15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950
(BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar
kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah
anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah
peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi
penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur
lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode
II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah
Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A N sebuah Propinsi. Walaupun
nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik
yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya
(lihat UU 22/1948). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional.
D. KELEBIHAN YOGYAKARTA
Kota Yogyakarta tidak diragunakan
diragukan memiliki keuntungan lebih jika dibandingkan dengan Jakarta.
a)
Keuntungan
pertama:
Universitas Terbaik. Tentu, Jakarta memiliki beberapa universitas berkualitas
baik, namun Yogyakarta dan Bandung memiliki universitas terbaik di Indonesia.
UGM di Yogyakarta, belum lagi berbagai universitas kecil lain dan beberapa
diantaranya bahkan fokus ke teknologi dan engineering.
Universitas terbaik adalah faktor yang
sangat penting karena mengundang orang dari luar daerah dari kota dimana
universitas itu berada untuk hijrah dan menuntut ilmu, dan para lulusan yang
ada memiliki kecenderungan untuk tetap tinggal untuk bekerja setelah lulus
kuliah. Ini membawa jumlah SDM yang siginifikan yang bisa diserap oleh
perusahaan, dan tentu populasi kalangan muda yang produktif dan terdidik
merupakan keuntungan yang signifikan, terutama bagi perusahaan teknologi yang
tergantung pada inovasi konstan yang biasanya didorong oleh kalangan muda.
Nilai plus lain yang dimiliki Yogyakara
adalah dukungan budaya atas kreativitas dan keinginan untuk menjadi berbeda.
Jika Anda meluangkan waktu yang cukup lama di Jakarta, dan Yogyakarta maka Anda
akan menyadari jika orang di Jakarta tidak bertoleransi pada kreativitas dan
hanya terdapat sedikit dosis kegilaan (dalam makna positif) jika dibandingkan
dengan Yogyakarta. Lebih banyak artis yang bisa ditemukan di Yogyakarta daripada
di Jakarta.
b)
Keuntungan
kedua, melihat sisi infrastruktur, Yogyakarta berada di level yang sama
dengan Jakarta, bahkan bisa jadi lebih baik. Bandara, akses listrik, dan
koneksi internet yang cepat. Dua kota ini memiliki semuanya. Bahkan, salah satu
kelemahan yang dimiliki Jakarta sebagai pusat kegiatan bisnis adalah tidak
terdistribusi dengan baik layaknya di Yogyakarta. Kegiatan bisnis di Jakarta
pada dasarnya terpusat di tengah Jakarta dan terlalu terkotak-kotek di area
tertentu, sedangkan di Yogyakarta kegiatan bisnis terdistribusi dengan baik ke
seluruh kota.
E. SUBSTANSI KEISTIMEWAAN DIY
Substansi istimewa bagi Daerah
Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak politik antara Nagari
Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar
Revolusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret
1940; Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam
VIII tanggal 19 Agustus 1945; Amanat 5 September 1945; Amanat 30 Oktober 1945;
Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949; Penjelasan pasal 18,UUD
1945; Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945; Pasal 2, UU NO. 3/1950; Amanat
Tahta Untuk Rakyat, 1986.
Subtsansi Istimewa bagi Daerah
Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal : Pertama, Istimewa dalam hal Sejarah
Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18
& Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen
serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan
kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan
Indonesia; Kedua, Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan &
Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam
satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana
disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950);
Ketiga, Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang
dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam
Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta
TETAP DALAM KEDUDUKANNYA dengan ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan
seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan
bertahtanya). Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin
berlarut - larut disebabkan oleh :
1)
Pertama,
manuver politik terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU
2009 (radar jogja,28/9/10) serta penolakan HB X menjadi gubernur yang tertuang
dalam orasi budaya pada saat ulang tahun ke 61 pada tanggal 7 April 2007,
setelah melakukan melakukan laku spiritual memohon petunjuk Tuhan memutuskan
untuk tidak bersedia menjabat gubernur setelah periode kedua masa jabatannya
berakhir 2008 (radar jogja, 29/9/10);
2)
Kedua,
setiap produk undang - undang yang mengatur tentang pemerintah daerah (UU No.
5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, UU No. 32/2004) tidak mampu menjangkau,
mengatur dan melindungi hak asal - usul suatu daerah sebagaimana diamanatkan
oleh Undang - undang Dasar 1945, pasal 18 & penjelasannya maupun amanat UUD
1945 (hasil amandemen), pasal 18 b (ayat 1 & 2);
3)
Ketiga,
pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus
tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh
penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat
luas;
4)
Keempat,
ketidak pahaman para penerus & pengisi kemerdekaan karena perubahan
orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah kebudayaan) yang bernama
Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia
sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan
secara yuridis formal dalam tata kehidupan sosial masayarakat &
pemerintahan NKRI;
5)
Kelima,
perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan
Sistem Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca
Reformasi semakin mengkacaukan sistem & hukum tata negara Indonesia, hal
ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum
sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistem demokrasi dari
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung
ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam
telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila;
6)
Keenam,
proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan
berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi
(musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum
melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena sesuai UU No.3/1950
& Kontrak Politik antara Kasultanan & Pakualaman dengan Bung Karno
memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab
langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas
medewewind (tugas pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana
walikota, bupati, lurah yang dipilih secara langsung dipilih oleh rakyat sesuai
amandemen UUD 45 & UU No. 32/2004.
2.2. ACEH MEMILIKI OTONOMI KHUSUS
dan PARTAI LOKAL
Kesejahteraan masyarakat Aceh
merupakan harapan yang harus dicapai sebagai amanah dari indatu kita. Sebagai
wilayah modal di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Aceh memiliki potensi
sumber daya alam yang melimpah dan didukung oleh letak geografis yang sangat
strategis, terletak di antara Samudera Hindia dan Selat Malaka. Tidak hanya
itu, Aceh juga memiliki sumber daya manusia yang cerdas dan terampil. Sejarah
telah mencatat bahwa Aceh telah pernah meraih zaman keemasan dalam bidang
ekonomi, ilmu pengetahuan, dan pemerintahan pada masa kepemimpinan Sultan
Iskandar Muda.
Kejayaan yang pernah dirasakan tersebut
akan kita wujudkan bersama pada periode Tahun 2012-2017. Periode ini merupakan
tahap kedua dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA)
Tahun 2005 - 2025. Pelaksanaan pembangunan pada tahap pertama Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA) 2005-2012 menekankan pada pembangunan
pasca konflik dan penanganan korban bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada
26 Desember 2004. Namun, kita menyadari bahwa pembangunan tahap pertama
tersebut masih menyisakan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan yang perlu
dibenahi.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai wujud kesepakatan damai antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005 di
Helsinki, telah memberi peluang yang sangat besar untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat Aceh. UUPA idealnya menjadi pondasi bagi pelaksanaan
pembangunan Aceh ke depan. Untuk itu, tahap pembangunan kedua ini akan
diprioritaskan pada proses keberlanjutan reintegrasi dan konsolidasi perdamaian
hasil nota kesepahaman (MoU) Helsinki dan implementasi UUPA yang masih belum
terlaksana dengan baik.
Bila dilihat dari capaian pembangunan
tahap pertama, ada beberapa permasalahan yang masih dihadapi Aceh ke depan
antara lain:
a. Belum Optimalnya pelaksanaan UUPA sebagai wujud MoU Helsinki. Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang
ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 2006 telah merubah paradigma tatanan sosial
kemasyarakatan di Aceh dan merupakan tonggak sejarah perjalanan bangsa Indonesia,
khususnya masyarakat Aceh.
b. Masih tingginya praktik Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN), mengakibatkan
inefisiensi pemanfaatan anggaran pembangunan dan sekaligus memicu biaya ekonomi
tinggi. Pratik KKN menimbulkan
persaingan tidak sehat sekaligus mematikan kreatifitas dan produktifitas
masyarakat. Disamping itu, juga proses
pembangunan akan lebih berpihak pada kepentingan kelompok tertentu daripada
kepentingan masyarakat umum.
c.
Pelaksanaan
nilai-nilai Dinul Islam di Aceh yang belum maksimal, terutama
disebabkan karena masih kurangnya pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran
agama di kalangan masyarakat. Berbagai perilaku masyarakat masih banyak yang
bertentangan dengan moralitas dan etika agama.
d.
Masih tingginya
tingkat kemiskinan di Aceh. Penduduk miskin di Aceh pada tahun 2011 tercatat
sebesar 19,48 persen, masih lebih besar dari penduduk miskin tingkat nasional
yang hanya sebesar 12,36 persen. Disamping itu, Indeks Kedalaman Kemiskinan
sebesar 3,483 dan Indeks Keparahan Kemiskinan sebesar 0,936 (BPS, September
2011). Sebaran penduduk miskin Aceh, lebih dominan berada di pedesaan,
(80,14%), sedangkan diperkotaan hanya 19,86%. Hal ini mencerminkan bahwa dampak
dari pembangunan belum memberikan pengaruh signifikan terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat secara umum, terutama masyarakat yang tinggal di
pedesaan.
e.
Masih tingginya
tingkat pengangguran terbuka (TPT). Walaupun tingkat pengangguran terbuka
di Aceh pada tahun 2011 mengalami penurunan, namun kondisi tersebut tergolong
masih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata nasional. Tingkat pengangguran
terbuka di Aceh pada tahun 2011 tercatat sebesar 7,43 persen, sementara angka
pengangguran terbuka Nasional hanya
sebesar 6,8 persen. Jika dilihat dari sisi gender, keberadaan pengangguran terbuka
perempuan tahun 2011 mencapai 8,50 persen lebih tinggi 1,70 persen dibandingkan
pengangguran terbuka laki-laki sebesar 6,80 persen.
f.
Keterlibatan
peran swasta dalam pembangunan Aceh masih rendah. Struktur
perekonomian Aceh masih didominasi oleh konsumsi pemerintah. Partisipasi pihak
swasta belum menunjukkan pengaruh yang besar terhadap pembangunan Aceh. Pihak
swasta masih sangat tergantung pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD). Di sisi lain, pemerintah daerah
sangat mengharapkan investasi swasta, baik yang bersumber dari pengusaha lokal
yang ada di daerah, atau pengusaha daerah yang berada di luar daerah, ataupun
kemampuan pengusaha daerah untuk menarik pengusaha luar daerah bahkan dari luar
negeri untuk berinvestasi.
g.
Sektor Koperasi
dan UMKM belum berkembang dengan baik. Sektor Koperasi dan Usaha Mikro Kecil
Menengah (UMKM) merupakan salah satu sektor yang sangat strategis dalam
menunjang perekonomian daerah sekaligus mampu menyerap tenaga kerja dalam
jumlah besar. Namun demikian, sektor ini belum berkembang secara optimal.
Misalnya pada tahun 2010, data Kementerian Koordinator Perekonomian menunjukkan
bahwa daya serap Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Propinsi Aceh hanya sebesar 0,8%
dari total plafon nasional sebesar Rp 24 trilliun.
h.
Rendahnya pemanfaatan
potensi sumberdaya alam yang berdaya
guna dan berhasil guna dan berkelanjutan. Sistem pengelolaan sumberdaya
alam kurang memperhatikan kondisi alam, sehingga berdampak pada kerusakan
lingkungan dan kelangsungan pembangunan daerah,. Hal ini dapat dilihat dari sistem pengelolaan
hutan, pertambangan, perkebunan, pesisir dan kelautan yang berdampak pada
kerusakan ekosistem, bencana alam, dan tatanan kehidupan sosial masyarakat
secara luas. Pemanfaatan sumber daya alam yang baik, selain dapat membuka lapangan
kerja baru juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
i.
Pertumbuhan
ekonomi Aceh masih rendah. Lemahnya pengelolaan sumber daya alam, keuangan,
dan sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi sejauh ini, mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi di Aceh mengalami instabilitas. Berdasarkan data Bank
Indonesia pada tahun 2011, pertumbuhan
ekonomi Aceh hanya sebesar 5,02 persen, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi
Nasional yang tercatat sebesar 6,5 persen. Disamping itu, jika dilihat dari
perkembangan beberapa tahun terakhir (2007-2011), pertumbuhan ekonomi Aceh
menunjukkan kecenderungan yang fluktuatif. Hal ini menggambarkan bahwa pondasi
struktur ekonomi Aceh masih lemah dan labil. Perubahan harga jual komoditi
migas dan produk pertanian di pasaran dunia sangat mempengaruhi nilai sumbangan
produk yang paling dominan dalam struktur ekonomi Aceh.
Berdasarkan permasalahan yang telah
di kemukakan di atas, maka yang menjadi agenda utama pembangunan Aceh akan
dituangkan dalam Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh Tahun
2012-2017.
Perjuangan rakyat Aceh yang
menginginkan kemerdekaan mendapat simpati yang minimal di dalam negeri. Ada
beberapa alasan yang mungkin mendasari akan rendahnya interest masyarakat
Indonesia dalam menanggapi perjuangan rakyat Aceh. Pertama, ada sebuah bentuk
ikatan pemikiran Orba yang sampai sekarang masih melekat ditengah masyarakat
bahwa Aceh lepas karena ingin mendirikan negara Islam ( Seperti yang
didengungkan GAM). Dan selama ini gambaran tentang negara Islam sendiri sangat
buruk-terlepas dari pembahasan empiris maupun teoritis yang bersifat
kontroversial. Yang kedua, ada pengaruh trauma terhadap apa yang terjadi dengan
Timor-Timur belum lama ini. Untuk itu, tidak sedikit analisis para tokoh yang
menyimpulkan bahwa lepasnya Aceh sama dengan menggulirkan proses disintegrasi
bangsa Indonesia secara keseluruhan terlepas dari sisi historis eksistensi Aceh
bagi Indonesia selama ini. Dan pada ujung-ujungnya gambaran Indonesia sebagai
Yugoslavia kedua semakin menguat jika ini terjadi. Dan belum lama ini sudah
terjadi di Irian Jaya pendirian bendera yang disaksikan ribuan rakyat Irian.
Tentu situasi ini memberikan
implikasi khusus bagi masyarakat Indonesia sehingga mengabaikan faktor-faktor
khusus penyebab sebenarmya dari tuntutan rakyat Aceh. Situasi demikian memiliki
dorongan positif bagi pemerintah dan sebaliknya semakin memojokkan rakyat Aceh,
yang tentunya bisa berakibatkan pada dua arah antara cooling down secara
psikologis bagi tawaran rakyat Aceh atau malah menimbulkan antagonisme yang
semakin menguatkan perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah.
Saat ini birokrasi pemerintahan, MUI
dan semua unsur masyarakat telah larut dalam kata referendum. Namun begitu,
akutnya permasalahan Aceh ternyata tidak membuat presiden kita mencari kompromi
yang real secepatnya dengan rakyat Aceh. Sedangkan pada saat ini, anak-anak di
Aceh tidak mendapatkan pendidikan normal karena gedung-gedung sekolahan dibakar
oleh kelompok orang yang tidak bertanggungjawab, terjadinya eksodus besar-besaran,
fungsi keamanan lumpuh total, terjadinya kejahatan-kejahatan, beredarnya
rumor-rumor yang menggelisahkan dll.
Sebagai komitmen bersama atas
perdamaian antara Pemerintahan RI dengan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ), maka
dilahirkanlah Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ( UUPA
). UUPA merupakan harapan baru bagi masyarakat aceh untuk mewujudkan
kesejahteraan dalam perdamaian abadi. Tidak terasa pelaksanaan UUPA sudah masuk
tahun ke 4 dan berbagai perubahan positip sudah dirasakan oleh sebagian
masyarakat Aceh. Tetapi disisi lain masih banyak tantangan yang harus dihadapi
sebelum UUPA ini menjadi payung hukum dan menjadi ruh dari perubahan yang ingin
dicapai oleh masyarakat Aceh ke arah yang lebih baik.
Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan
Aceh ( UUPA ) merupakan satu tonggak sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia,
khususnya bagi masyarakat Aceh , karena dengan Undang-Undang ini tercurah
harapan untuk terciptanya perdamaian yang langgeng, menyeluruh, adil, dan
bermartabat, sekaligus sebagai wahana pelaksanaan pembangunan dalam rangka
mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera. UUPA sendiri terdiri dari 40Bab dan
273 Pasal.
Berikut ini beberapa kekhususan
pengaturan yang terdapat pada UUPA, antara lain:
a)
Kewenangan
Khusus
b)
Lembaga
di Daerah
c)
Gubernur
Aceh
d)
Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota ( DPRA/K )
e)
Partai Politik Lokal
f)
Wali Nanggroe
g)
pengakuan
terhadap Lembaga Adat
h)
Syari’at Islam, Mahkamah Sya’iyah
i)
Pengadilan
HAM di Aceh
j)
Komisi
kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) di Aceh
k)
Pengelolaan
Sumber Daya Alam, Keuangan, Pertanahan.
Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh
terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak
terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah
dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan
merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan
sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar
yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain :
a.
Pemerintahan
Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD
Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan
fungsi dan kewenangan masing-masing.
b.
Tatanan
otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh
ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
c.
Pengaturan
dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU
Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban
konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
d.
Pengaturan
perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan
untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
e.
Implementasi
formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap
setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan,
dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Namun dalam pelaksanaan dan implementasinya, UU 11/2006 masih jauh dari
yang diharapakan. Contohnya tentang fungsi legislasi, budgeting dan controling
yang dilakukan oleh DPRA dan semakin meluasanya peluang korupsi, serta masalah
pengakuannya partai politik lokal aceh. Mutu pendidikan aceh masih berada di
urutan bawah, besarnya anggaran dinas pendidikan tidak serta-merta dapat
meningkatkan kualitas pendidikan.
Seharusnya jika pengawasan disektor publik ini
dilakukan secara maksimal dan menyeluruh oleh anggota DPRA, dapat dipastikan
seluruh persoalan yang timbul dan penyalahgunaan wewenang oleh pihak eksekutif
dalam menggunakan anggaran Aceh akan dapat diminimalisir dan wibawa DPRA
sebagai wakil rakyat akan meningkat.
Otonomi
khusus yang diberikan pemerintah dengan segala keistimewaannya tidak serta
merta juga membuat kinerja pemerintahannya berjalan dengan bagus. Sangat
disayangkan pula apabila semangat makar yang berkumandang keras dahulu tidak
berjalan lurus dengan pengelolaan dan komitmen para pemangku kepentingan untuk
kepentingan publik. Yang ada sekarang ialah timbulnya gejala korupsi yang
merebak di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, dan bisa juga sedang menjadi tren
disana. Harian aceh.com mencatat kasus korupsi di serambi mekah itu mencapai
141 kasus yang masih mengambang di kejaksaan, 43 kasus diantaranya tahap
penuntutan dan 54 lainnya tahap penyidikan .
kita bisa mencermati dan mengkaji
Qanun atau peraturan daerah sebagai acuan kita mengkaji lebih mendalam tentang
maraknya korupsi di Aceh ( undang-undang no 11 tahun 2006). Performa kinerja
lembaga-lembaga terkait penegakan hukum juga menjadi pangkal dari maraknya
korupsi. Hal ini bisa tercermin dari perilaku ke 6 lembaga ini yang melakukan
jual beli proyek, kesepakatan diluar ruangan, lobi-lobi informal, jual-beli
kasus dan semua proses dibelakang meja yang terjadi di lingkungan
lembaga-lembaga tersebut. Hal inilah
yang ikut memperburuk penuntasan korupsi di Aceh dengan birokrasi dan lembaga
yang bobrok.
Beberapa tahun yang lalu di dalam Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia di Aceh telah meloloskan 12
partai lokal sebagai bagian dari realisasi kesepakatan damai antara Gerakan
Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia. Kehadiran partai lokal di Aceh secara
tidak langsung menandai perubahan anatomi sistem kepartaian di Indonesia.
Keberadaan partai lokal ini
sebenarnya sudah lama dikenal di masa demokrasi parlementer pada tahun 1950-an,
seperti Partai Dayak di Kalimantan. Hanya saja sejak pada masa Orde Baru
berkuasa dan jumlah partai dipangkas menjadi tiga partai (Golongan Karya,
Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan), referensi tentang
partai lokal hilang dari sistem kepartaian Indonesia yang kemudian lebih
didominasi oleh wacana partai nasional. Sampai saat ini walaupun partai lokal
telah mendapatkan status legalnya dari pemerintah, namun posisinya sebagai
partai yang mempunyai hak untuk ikut serta dalam pemilihan umum (Pemilu) belum
memperoleh kepastian. Masih ada keengganan atau kekhawatiran dari partai-partai
nasional melalui fraksinya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk tidak
memberikan ruang gerak yang lebih luas pada partai lokal untuk memasuki arena
politik Pemilu.
Namun bisakah partai lokal menjadi alternatif
politik lokal? Memang tidak otomatis partai lokal bisa menjadi lebih
baik dari partai nasional atau menjadi harapan masyarakat lokal. Partai lokal
juga bisa terjebak penyakit sebagaimana yang diidap oleh partai nasional,
seperti sifat paternalistik dan menguatnya elitisme lokal yang bersandar pada
tokoh-tokoh lokal, serta praktik politik uang. Mampukah partai politik lokal
Aceh menjalankan amanat sesuai dalam pasal 77, 78 dan 79 UU 11/2006 tentang kedudukan, tujuan dan fungsi partai
politik lokal Aceh yang intinya adalah menciptakan kesejahteraan dalam lingkup
demokrasi pancasila? Oleh karena itu, Partai Politik harus mengawasi setiap
kader yang duduk di DPRA berdasarkan kinerja, dan memberikan sanksi bagi yang
berkinerja rendah. Dalam menentukan kader yang akan duduk di Parlemen, Partai
Politik harus mempertimbangkan basis pengetahuan dan wawasan legislatif.
Namun secara geografi politik partai lokal
memiliki kesempatan yang besar untuk dapat secara emosional bersentuhan
langsung dengan konstituennya di tingkat akar rumput. Karena itu yang penting
untuk diupayakan adalah bagaimana dapat membangun partai lokal yang modern dan
berakar di masyarakat. Partai lokal di Aceh perlu dijadikan contoh yang baik
agar kehadirannya bisa mengubah perspektif sistem kepartaian di Indonesia.
Dengan demikian pemikiran tunggal bahwa partai politik haruslah partai nasional
sudah harus mulai ditanggalkan.
Dalam menentukan kader yang akan duduk
di Parlemen, Partai Politik harus mempertimbangkan basis pengetahuan dan
wawasan legislatif.
Namun secara geografi politik partai lokal
memiliki kesempatan yang besar untuk dapat secara emosional bersentuhan
langsung dengan konstituennya di tingkat akar rumput. Karena itu yang penting
untuk diupayakan adalah bagaimana dapat membangun partai lokal yang modern dan
berakar di masyarakat. Partai lokal di Aceh perlu dijadikan contoh yang baik
agar kehadirannya bisa mengubah perspektif sistem kepartaian di Indonesia.
Dengan demikian pemikiran tunggal bahwa partai politik haruslah partai nasional
sudah harus mulai ditanggalkan.
2.3. PAPUA MEMILIKI OTONOMI KHUSUS
dan PARTAI LOKAL
Otonomi
Khusus
bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan
Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun
2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79
pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan
Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain
hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap
menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi
seluruh daerah di Indonesia. Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai
politik. Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan
dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Partai politik wajib meminta
pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya
masing-masing.
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus)
adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal
tertentu dalam UU 21/2001. Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP
bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. Peraturan Daerah
Provinsi (Perdasi) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka
pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.
Dalam rangka otonomi khusus Provinsi
Papua (dan provinsi-provinsi hasil pemekarannya) mendapat bagi hasil dari pajak
dan sumber daya alam sebagai berikut:
a) Pajak
Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)
b) Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen)
c) Pajak
Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)
d) Kehutanan
sebesar 80% (delapan puluh persen)
e) Perikanan
sebesar 80% (delapan puluh persen)
f) Pertambangan
umum sebesar 80% (delapan puluh persen)
g) Pertambangan
minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001.
Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)
h) Pertambangan
gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001.
Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).
Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
persen) penerimaan Pertambangan minyak bumi dan gas alam dialokasikan untuk
biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk
kesehatan dan perbaikan gizi.
Pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah
Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), hingga 1 Januari 2011 telah memasuki
tahun ke sepuluh. Jika diteropong sedikit kebelakang, Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 yang kini menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Khusus Papua ini,
ditetapkan oleh DPR RI pada 22 Oktober 2001. Kemudian oleh Presiden Megawati,
UU tersebut disahkan 21 November 2001 dan dinyatakan berlaku mulai 1 Januari
2002. Secara umum, status Otonomi Khusus bagi Tanah Papua akan melekat selama
25 tahun ke depan, yakni hingga tahun 2026.
Berdasarkan substansi Otsus Papua,
pembangunan harus dititik beratkan pada sektor pendidikan, kesehatan,
pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur. Disinilah banyak
pihak kemudian menaruh harapan agar lewat payung Otonomi Khusus, tercipta
kerangka pembangunan yang menempatkan orang asli Papua sebagai pelaku utama
atau tidak lagi menjadi penonton pembangunan di tanah leluhurnya sendiri.
“Bukan hanya itu, melalui Otsus pula tercipta ruang perwujudan emansipasi,
peningkatan harkat dan martabat orang asli Papua,” demikian harapan mantan
Gubernur Papua, almh. Dr. J.P. Solossa.
Harapan itu kemudian tertuang dalam
bukunya, “Otonomi Khusus Papua mengangkat martabat orang asli Papua dalam
NKRI.” Filosofi dasar itulah yang telah menjadi amanat pemberlakuan Otonomi
Khusus bagi wilayah yang bergabung ke dalam NKRI sejak 1 Mei 1963 silam.
“Sejatinya Otsus juga menjadi suatu formula politik yang mujarab untuk meredam
keluhan pembangunan dan tuntutan merdeka yang terus disuarakan orang Papua,”
kata Simon Nick Messet, repatrian asal Papua yang pernah menjadi aktivis OPM di
PNG dan beberapa negara Eropa. Ia berharap lewat Otonomi Khusus Papua pula, ada
harapan untuk membangun mass depan Papua dalam bingkai NKRI.
Dengan begitu, sejumlah aktivis Papua
di luar negeri yang saat ini tidak setuju soal bergabungnya Tanah Papua ke
dalam NKRI bisa kembali ke kampung halamannya untuk membangun Papua. Memang
secara kasat mata, realita sepuluh tahun pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang
kini mencakup dua provinsi bersaudara Papua dan Papua Barat, telah menunjukan
adanya trend pembangunan yang kian pesat. Hanya saja, sejumlah pihak di Papua
menilai pembangunan itu masih lebih sebatas aspek fisik semata. Ada kesan,
proses pembangunan belum sepenuhnya menempatkan orang asli Papua sebagai pelaku
utama. Meski begitu, pembangunan yang telah terekam dalam beberapa tahun
terakhir ini patut diapresiasi.
Otonomi Khusus Papua yang identik
dengan kucuran “dana triliunan” dari Jakarta ke Papua juga menjadi faktor
pemicu menjamurnya bangunan-bangunan modern milik Pemda dan swasta di seantero
tanah Papua. Mulai dari ruko, mall, supermarket, hotel berbintang, perkantoran
megah, bank, sekolah, puskesmas, rumah sakit, tempat ibadah, hingga bangunan
fisik lainnya, ramai menjajali area perkotaan sejumlah ibukota kabupaten.
Kawasan-kawasan pinggiran yang tadinya tampak tak bernilai karena ditumbuhi
semak belukar, alang-alang, kebun, kolam kangkung dan tanah-tanah kosong yang
tandus, kini disulap jadi areal yang dipenuhi bangunan megah serta padat
penduduk.
Pandangan para tokoh Papua terhadap
realitas Otonomi Khusus Papua itu memang cukup beralasan jika dicermati
berdasarkan fakta yang terjadi akhir-akhir ini. Hanya saja, sebenarnya ada
sejumlah pihak yang telah ikut memberikan sumbangsi pemikiran bagi perbaikan
Otsus Papua dan pasang surut hubungan Papua-Jakarta. Salah satunya kelompok
peneliti dari LIPI yang dikoordinir Dr. Muridan S.Widjojo dan kawan-kawan.
Berdasarkan hasil penelitian mereka, disimpulkan terdapat 4 (empat) akar
persoalan Papua yang kemudian terurai dalam buku “Papua Road Map,” atau Peta
Jalan Papua.
Beberapa para ahli menyarankan
beberapa alternatif pemecahan yakni Empat akar persoalan itu mencakup; pertama, kontradiksi sejarah dan
konstruksi identitas politik orang Papua. Kedua,
kekerasan negara terhadap orang Papua di masa lalu. Ketiga, diskriminasi terhadap orang asli Papua. Keempat, kegagalan implementasi
pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi
rakyat. Untuk mereduksi empat permasalahan tersebut, kelompok LIPI
2.4. DKI JAKARTA MENJADI IBU KOTA
A.
SEJARAH ZIONIS
JAKARTA
Kota Jakarta itu dibangun oleh para
Freemason Indonesia. Sejak pembangunan Stadhuis, Gedung Gubernur Jenderal
Batavia Jakarta ini dulu Gedung Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah
(kordinat: 6°8’7.2377”S 106°48’48.164”E) di tahun 1707 hingga sekarang, para
Freemasonry ini terus membangun Jakarta dan menyisipkan aneka simbol ‘pagan’nya
ke ibukota. luas keseluruhan Museum Fatahillah adalah 13.000 meter persegi.
Peta pusat wilayah elit Menteng,
Jakarta Pusat setelah diputar 180 derajat, di mana sebelah bawah adalah arah
utara. Salah satu bangunan yang berada di dalam kepala binatang bertanduk atau
Baphomet adalah lokasi Loji Adhucstat atau yang kini dijadilan Gedung
BAPPENAS. Struktur piramida keanggotaan
Freemansory juga terdiri dari 13 tingkat, batu istana DAM di depan Museum
Fatahillah tersusun atas 13 baris dan gerbang utama Museum Fatahillah terdiri
dari 13 buah batu berbentuk Arch ,dimana tiga belas adalah nomer baik untuk
para Freemason.
Renovasi Air Mancur bundaran Hotel
Indonesia (kordinat 6.1949711S 106.8230563E) di tahun 2001 sarat dengan
simbolisme Kabbalah (yang merupakan campuran antara ilmu perbintangan, ilmu
sihir zaman Firaun dan Raja Nimrodz, dan paganisme lainnya) dimana proyeknya
mengambil tema sentral “Cahaya” atau “Illuminati“. Bundaran Air Mancur Hotel
Indonesia yang telah direnovasi dengan tema sentral CAHAYA (Lucifer). Dari atas
terlihat bagai sebuah mata (Horus) di pusat Ibukota. Ratusan simbol Kabbalah
bertebaran di Museum Taman Prasasti (kordinat 6.1722143S 106.8188667E) di Tanah
Abang. Ada sebuah makam di Museum Prasasti Tanah Abang yang tidak bernama namun
memiliki simbol Grand Master Freemasonry.
Dibawah tanah Jakarta ada berbagai
terowongan rahasia yang saling terhubung, yang sampai sekarang pintunya masih
bisa disaksikan di berbagai tempat. Masjid Istiqlal dibangun diatas sebuah
benteng Belanda yang dikenal sebagai Benteng Tanah karena dibawahnya ada
terowongan rahasia. Dan masih banyak kejutan-kejutan fakta lainnya meliputi
Jakarta. Diramu dengan kisah pembunuhan terhadap tokoh neolib negeri ini, novel
“The Jacatra Secret” terasa begitu renyah dan akan mengubah paradigm kita
tentang Jakarta dan bangsa ini secara keseluruhan.
B. RAHASIA YANG TERSEMBUNYI DARI SEBUAH BANGUNAN MUSEUM
SEJARAH JAKARTA
Mulai dari susunan batu khusus yang
terletak tepat di depan sebelah kanan pelataran utamanya, gerbang utama yang
berupa batu lengkung dan keystone dengan simbol bunganya serta patung Dewa
Hermes yang terletak dibagian belakang gedung. Misteri dibalik angka 13 yang
menyelimuti keseluruhan bangunan tersebut dengan Hollywood merupakan sebuah
penyampai pesan yang digunakan kelompok Luciferian kepada seluruh umat manusia
di dunia.Wilhelmina Park Oude Fort terdapat "Benteng Tanah" Frederik
Hendrik, yang kini menjadi Mesjid Istiqlal Jakarta, dibangun oleh Gubernur
Jenderal Van De Bosch tahun 1834. Selain berfungsi sebagai kebun sayur bagi
para opsir Belanda di wilayah tersebut, juga merupakan tempat tamasya bagi para
pembesar Kompeni.
Taman ini terluas yang pernah ada di
Batavia, bahkan taman modern terbesar di Asia kala itu. Para pembesar Belanda,
para tuan-tanah dan orang-orang kaya tiap akhir minggu selalu menyempatkan diri
datang kesini membawa keluarga bersantai dari rutinitas yang melelahkan.
Benteng Frederik Hendrik yang terletak di tengah-tengah Wilhelmina Park
dibangun 1834, juga oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch. Kabarnya benteng tua
yang sudah lama di bongkar ini ada terowongan menuju Pasar Ikan. Bayangkan
betapa panjangnya terowongan itu.
Lambang atau Logo kedokteran
Indonesia menyerupai persis dengan logo Brotherhood of the Snake atau Kelompok
Persaudaraan Ular, merupakan nama sebuah kelompok pengikut iblis yang paling
awal lahir di dunia. Dari berbagai literatur sejarawan Barat, seperti yang
ditulis J. Robinson dalam ‘The Secret Society’, kelompok persaudaraan ular
inilah yang mengemban misi menyebarkan kesesatan kepada umat manusia sejak
zaman Nabi adam a.s. hingga zaman kiwari. Bahkan diduga kuat jika dari kelompok
inilah lahir gerakan-gerakan penyesatan terhadap agama-agama samawi dunia.
Kabbalah dan Talmud, sebagai doktrin iblis yang sampai sekarang dipercaya
dengan segenap jiwa dan raga oleh kalangan Zionis sebagai pandangan hidup, juga
berasal dari kelompok ini.
C. LATAR BELAKANG
Jakarta sebagai ibu kota negara
ditetapkan secara otomatis dan historis setelah indonesia menyatakan
kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945. Hal ini berkaitan dengan sejarah
berjalannya penjajahan di Indonesia, dimana belanda sebagai penjajah
menempatkan ibu kota di jakarta. Hal ini ditandai dengan adanya pusat
pemerintahan di kota ini dengan semua kelengkapan yang menyertainya yaitu
gedung-gedung dan kantor pemerintahan serta adanya istana negara.
Kalau kita telusuri sejarah
perkembangan jakarta yang semula dinamai “Jayakarta” yang berarti “kota
kemenangan” yaitu ditaklukkannya Portugis sebagai penguasa Bandar Sunda kelapa
pada 22 juni 1527 oleh pasukan Faletehan dari Cirebon yang didukung oleh Sultan
Demak, maka kuasa dipegang Pangeran Jayakarta. Dengan kedatangan belanda di
wilayah nusantara yang juga hendak melakukan perdagangan masuk tahun 1596,
tetapi tidak beroleh tempat di banten yang waktu itu bermitra dagang dengan
Inggris, maka Belanda membuat perjanjian dengan pangeran jayakarta yang
merupakan fazal Banten dengan menempatkan pos dagangnya di Sunda Kelapa.
Dengan berlalunya waktu, Belanda pada
tahun 1619 memerangi Pangeran Jayakarta dan membakar kota jayakarta yang waktu
itu berpenduduk 10 ribu jiwa, yang menyebabkan Pangeran Jayakarta tergusur ke
wilayah Jatinegara kaum. Dari wilayah ini diusahakan kembali menyerang pusat kegiatan Belanda dan
dengan bantuan Sultan Agung telah berkali-kali diserang, terakhir pada tahun
1628 dengan memusatkan pasukan di daerah Bekasi dan Kerawang dan pos
terdepannya ada di Matraman. Kawasan kota ini berasal dari penempatan tentara
Mataram. Sejarah mencatat bahwa Gubernur Jenderal Jan Pietersen Coen dapat
dipenggal kepalanya oleh tentara Mataram sebagai Gubernur Jenderal VOC pertama.
Peta Batavia tahun 1740. Wilayah
Batavia di dalam dinding kota serta paritnya dan Pelabuhan Sunda Kelapa di kiri
(utara) peta membentuk Kota Tua Jakarta. Tahun 1526, Fatahillah, dikirim oleh
Kesultanan Demak, menyerang pelabuhan Sunda Kelapa di kerajaan Hindu Pajajaran,
kemudian dinamai Jayakarta. Kota ini hanya seluas 15 hektar dan memiliki tata
kota pelabuhan tradisional Jawa. Tahun 1619, VOC menghancurkan Jayakarta di
bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu tahun kemudian, VOC membangun kota
baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota
ini terpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, saat ini Lapangan
Fatahillah.Penduduk Batavia disebut "Batavianen", kemudian dikenal
sebagai suku "Betawi", terdiri dari etnis kreol yang merupakan
keturunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia.
Tahun 1635, kota ini meluas hingga
tepi barat Sungai Ciliwung, di reruntuhan bekas Jayakarta. Kota ini dirancang
dengan gaya Belanda Eropa lengkap dengan benteng (Kasteel Batavia), dinding
kota, dan kanal. Kota ini diatur dalam beberapa blok yang dipisahkan oleh
kanal. Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650. Batavia kemudian menjadi
kantor pusat VOC di Hindia Timur. Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah tropis
di dalam dinding kota karena sanitasi buruk. Kota ini mulai meluas ke selatan
setelah epidemi tahun 1835 dan 1870 mendorong banyak orang keluar dari kota
sempit itu menuju wilayah Weltevreden (sekarang daerah di sekitar Lapangan
Merdeka). Batavia kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda.
Tahun 1942, selama pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta dan
masih berperan sebagai ibu kota Indonesia sampai sekarang.Tahun 1972, Gubernur
Jakarta, Ali Sadikin, mengeluarkan dekrit yang resmi menjadikan Kota Tua
sebagai situs warisan. Keputusan gubernur ini ditujukan untuk melindungi
sejarah arsitektur kota — atau setidaknya bangunan yang masih tersisa di sana.
Meski dekrit Gubernur dikeluarkan, Kota Tua tetap terabaikan. Banyak warga yang
menyambut hangat dekrit ini, tetapi tidak banyak yang dilakukan untuk
melindungi warisan era kolonial Belanda.
TEMPAT YANG
SUDAH DIHANCURKAN
Tugu
Jam Kota Tua Jakarta
Dalam pengembangan daerah Jakarta,
pemprov DKI Jakarta menghancurkan beberapa bangunan atau tempat yang berada di
daerah kota Tua Jakarta dengan alasan tertentu. Tempat tersebut adalah:
Benteng
Batavia
Gerbang Amsterdam (lokasinya berada
dipertigaan Jalan Cengkeh, Jalan Tongkol dan Jalan Nelayan Timur. Dihancurkan
untuk memperlebar akses jalan) Jalur Trem Batavia (Jalur ini pernah ada di kota
Batavia, tetapi sekarang sudah ditimbun dengan aspal. Karena Presiden Soekarno
menganggap Trem Batavia yang membuat macet)
TEMPAT MENARIK
DAN BERSEJARAH
a. Museum
Wayang di Jakarta
b. Jembatan
Tarik Kota Intan
c. Stasiun
Jakarta Kota
d. Kantor
Pos di Kota Tua
Sebagai permukiman penting, pusat
kota, dan pusat perdagangan di Asia sejak abad ke-16, Oud Batavia merupakan
rumah bagi beberapa situs dan bangunan bersejarah di Jakarta:
1) Gedung
Arsip Nasional
2) Gedung
Chandranaya
3) Vihara
Jin De Yuan (Vihara Dharma Bhakti)
4) Petak
Sembilan
5) Pecinan
Glodok dan Pinangsia
6) Gereja
Sion
7) Tugu
Jam Kota Tua Jakarta
8) Stasiun
Jakarta Kota
9) Museum
Bank Mandiri
10) Museum
Bank Indonesia
11) Standard-Chartered
Bank
12) Kota's
Pub
13) VG
Pub Kota
14) Toko
Merah
15) Cafe
Batavia
16) Museum
Sejarah Jakarta / Museum Fatahillah (bekas Balai Kota Batavia)
17) Museum
Seni Rupa dan Keramik (bekas Pengadilan Batavia)
18) Lapangan
Fatahillah
19) Replika
Sumur Batavia
20) Museum
Wayang
21) Kali
Besar (Grootegracht)
22) Hotel
Former
23) Nieuws
van de Dag
24) Gedung
Dasaad Musin
25) Jembatan
Tarik Kota Intan
26) Galangan
VOC
27) Menara
Syahbandar
28) Museum
Bahari
29) Pasar
Ikan
30) Pelabuhan
Sunda Kelapa
31) Masjid
Luar Batang
Saat ini, banyak bangunan dan arsitektur
bersejarah yang memburuk kondisinya seperti: Museum Sejarah Jakarta (bekas
Balai Kota Batavia, kantor dan kediaman Gubernur Jenderal VOC), Museum Maritim
Nasional, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Hotel Omni Batavia. Tetapi, masih ada
usaha perbaikan Kota Tua, khususnya dari berbagai organisasi nirlaba, institusi
swasta, dan pemerintah kota yang telah bekerjasama untuk mengembalikan warisan
Kota Tua Jakarta. Tahun 2007, beberapa jalan di sekitar Lapangan Fatahillah
seperti Jalan Pintu Besar dan Jalan Pos Kota, ditutup sebagai tahap pertama
perbaikan.
D. SYARAT ATAU KETENTUAN AWAL MENJADI IBU KOTA
Ada beberapa alasan mengapa Jakarta
baik untuk ekosistem yang sedang bertumbuh. Ketersediaan bandara international,
menjadi pusat bisnis dan ibukota Indonesia adalah beberapa contoh kelebihan
Jakarta. Kebanyakan bisnis memilki kantor pusat di Jakarta, saya tidak
menyangkal hal tersebut, tetapi ada beberapa fakta umum yang membuat kota lain
menjadi pilihan yang lebih baik untuk perusahaan teknologi dan industri.
Ibukota selalu menjadi target bagi
orang-orang untuk didatangi dan dijadikan tempat tinggal. Selain faktor entitas politik dan pertumbuhan
industri, tak jarang faktor keamanan dan geografi serta geopolitik menjadi alasan suatu daerah ditunjuk menjadi
ibukota disamping dianggap tempat yang netral dan bebas dari nilai-nilai suatu
etnis atau budaya bila kita hidup di negara yang multikultural atau multietnis.
Kepala Demografi FE UI Sonny Harry
pernah menyatakan ada enam syarat awal yang harus dipenuhi daerah yang akan
menjadi ibukota, yaitu :
a.
Memiliki
jaringan yang baik dan terhubung dengan pusat aktivitas politik,
b.
Memiliki
kepadatan penduduk yang relatif rendah,
c.
Memungkinkan
daerah itu untuk berekspansi dalam jangka waktu panjang,
d.
Memiliki
risiko relatif rendah terhadap bencana alam,
e.
Aman
dalam perspektif pertahanan dan ketahanan nasional dan
f.
Memiliki
risiko yang relatif rendah terhadap munculnya instabilitas sosial dan politik.
Pendapat lain dari Profesor Sutikno
bahwa ibu kota negara yang ideal harus
mempertimbangkan aspek spasial, ekologis, dan kewilayahan, maka perlu antara lain tersedianya lahan yang sesuai,
aman, nyaman, lingkungan sehat, bebas dari bahaya dan bencana, aksesibilitas
dan arus informasi memadai, ketersediaan lahan untuk perwakilan negara sahabat
(kedutaan), ketersediaan air bersih, fasilitas umum, fasilitas kesehatan,
masyarakat sekitar kondusif, dan tidak menimbulkan ketimpangan antara wilayah.
Namun aspek ketersediaan sarana dan
prasarana juga merupakan faktor penting sehingga perpindahan ke lahan yang luas
tanpa ketersedian sarana dan prasarana akan menimbulkan pembangunan biaya
mahal.
BAB
III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Yogyakarta pertama kali berstatus
provinsi pada 5 September 1945, ketika Raja Ngayogyakarto Hadiningrat Sri
Sultan Hamengku Buwono IX bersama Paku Alam VIII menyatakan bahwa Negeri
Ngayogyakarto Hadiningrat adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang diproklamirkan Soekarno Hatta pada 17 Agustus 1945. Pro dan kontra
Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta mengerucut pada satu
tema, Gubernur dipilih langsung oleh rakyat atau ditetapkan. Perbedaan pendapat
antara Istana dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X semakin kentara saat wacana
referendum mengemuka. Pasal 18
Undang-undang 1945, DPRD DIY menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa
untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan
perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati Pasal 18
undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa "pembagian Daerah Indonesia
atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam
sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang
bersifat Istimewa". Sebagai Daerah
Otonom setingkat Propinsi, DIY dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950,
sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan
Daerah Pakualaman. Yogyakarta mungkin bukan pilihan terbaik bagi perusahaan
untuk mendirikan kantor pusat mereka, tetapi pada dasarnya semua hal yang harus
ada sebagai faktor pendukung bagi perusahaan teknologi untuk beroperasi, ada di
dua kota ini. Dan di banyak sisi, lebih baik dari Jakarta.
Undang – Undang no 11 tahun 2006 (UU
11/2006) lahir sebagai komitmen bersama atas perdamaian antara Pemerintahan RI
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mewujudkan kesejahtaraan dan perdamaian
abadi serta memperjelas kedudukan dan fungsi Naggroe Aceh Darussalam sebagai
salah satu provinsi yang memiliki otonomi khusus di Indonesia. UU 11/2006 yang berisi tentang
pengaturan-pengaturan, seperti 1. Kewenangan Khusus, 2. Lembaga di Daerah, 3.
Gubernur Aceh, 4. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota ( DPRA/K ), 5.
Partai Politik Lokal, 6. Wali Nanggroe, 7. pengakuan terhadap Lembaga Adat, 8.
Syari’at Islam, 9. Mahkamah Sya’iyah, 10.Pengadilan HAM di Aceh, 11. Komisi
kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) di Aceh, 12. Pengelolaan Sumber Daya Alam,
13. Keuangan, 14. Pertanahan. Ternyata dalam Permasalahan politik lokal Aceh
seperti seperti sifat paternalistik dan menguatnya elitisme lokal yang
bersandar pada tokoh-tokoh lokal, serta praktik politik uang, tentunya harus
mampu diatasi dengan merujuk kembali kepada pasal 77, 78 dan 79 UU 11/2006 tentang kedudukan, tujuan dan fungsi partai
politik lokal Aceh, dengan menciptakan pendidikan politik masyarakat dan
mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila menuju kesejahteraan.
Papua dalam menjalankan Otonomi
Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal
yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan
UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di
Indonesia. Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen
politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan
masyarakat asli Papua. Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP
dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing
Jakarta sebagai ibu kota negara
ditetapkan secara otomatis dan historis setelah indonesia menyatakan
kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945. Hal ini berkaitan dengan sejarah
berjalannya penjajahan di Indonesia, dimana belanda sebagai penjajah
menempatkan ibu kota di jakarta. Hal ini ditandai dengan adanya pusat pemerintahan
di kota ini dengan semua kelengkapan yang menyertainya yaitu gedung-gedung dan
kantor pemerintahan serta adanya istana negara. Jakarta menyimpan banyak cerita
tentang sejarah masa lalu dan merupakan pusat / sentral bisnis.
3.2. SARAN
Kepada
para pembaca yang ingin memperdalam berkenaan dengan materi, dapat membuka
sistus yang tertera pada daftar pustaka.
DAFTAR
PUSTAKA