MAKALAH POTENSI LEMBAGA ADAT
DALAM MENUNJANG PARIWISATA DI KABUPATEN SAROLANGUN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Pariwisata (ecotourism)
merupakan salah satu bentuk industry pariwisata yang belakangan ini menjadi
tujuan dari sebagian besar masyarakat. Pariwisata memberikan “suguhan” kepada
wisatawan berupa keindahan alam seperti air terjun, lembah, sungai, panorama
pegunungan, danau, keanekaragaman hayati dan pesona alami lainnya seperti
terumbu karang, pantai yang indah dan lain sebagainya. Pertemuan Nasional Pariwisata
(1996)
mendefinisikan pariwisata sebagai suatu bentuk penyelenggaraan kegiatan wisata
yang bertanggung jawab ditempat-tempat/daerah-daerah alami dan atau
tempat-tempat/daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam yang mendukung
upaya-upaya pelestarian/penyelamatan lingkungan (alam dan kebudayaannya) dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Berdasarkan
definisi tersebut maka keberhasilan pembangunan pariwisata dapat dilihat dari
kemampuannya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Komponen
utama dalam aktivitas pariwisata adalah obyek dan daya tarik wisata. Dalam
Undang – Undang nomor 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan, obyek dan daya tarik
wisata meliputi keadaan alam, flora, fauna, serta hasil karya manusia. Oleh karena
itu, aktivitas pariwisata juga merupakan usaha pemanfaatan berbagai bentuk
sumber daya lingkungan, baik yang bersifat fisik biotis maupun budaya.
Kegiatan
atau aktivitas pariwisata pada perkembangannya telah menjadi industri
pariwisata dan merupakan salah satu sektor yang dapat memberikan keuntungan
secara ekonomi. Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, sektor
pariwisata dijadikan sebagai salah satu sumber devisa negara, lebih-lebih
adanya pandangan bahwa pariwisata merupakan eksport yang tidak kentara ( Invisible
export) yang tidak mencemari
lingkungan ( smokeless industries, dan industri yang tidak akan pernah
berakhir ( never ending industries )
telah mendorong para pengambil keputusan guna lebih memberikan penekanan
pada aspek keuntungan ekonomi daripada konsekuensi kelestarian lingkungan.
Pertimbangan terhadap aspek kelestarian sering dikalahkan dengan alasan
ekonomi. Adanya paradigma demikian menyebabkan kecenderungan pengembangan
pariwisata dilakukan dalam skala besar- besaran ( massive ) yang
berdampak adanya degradasi lingkungan, baik fisik biotis maupun lingkungan
sosial budaya.
Pariwisata
ternyata tidak selalu menimbulkan dampak positif seperti : penghasil devisa,
membuka lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi; akan tetapi secara bersamaan
juga menimbulkan berbagai dampak negatif seperti nilai - nilai sosial budaya
maupun pencemaran lingkungan fisik dan biotis. Isu dampak negatif pariwisata
ini mengakibatkan perubahan paradigm pembangunan pariwisata, dari model
pariwisata massal ( mass tourism) atau pariwisata konvensional ke model
pariwisata alternatif ( alternative tourism).
Lembaga-lembaga
sosial yang dibentuk dan menjalankan fungsinya di segala sendi-sendi kehidupan masyarakat, harus selalu
berjalan secara harmonis dan dinamis
sesuai dengan derajat keserasian tertentu antara lembaga-lembaga sosial
tersebut, karena hal yang demikian merupakan cerminan dari masyarakat yang harmonis. Namun kenyataannya, dalam realita kehidupan masyarakat, lembaga-lembaga sosial tertentu mendapatkan tekanan
yang lebih besar dari lembaga sosial
lainnya, akan tetapi tekanan yang diberikan pada lembaga sosial tertentu sepatutnya
tidak mengganggu hubungannya yang serasi
dengan lembaga sosial lainnya, karena
jika terjadi ketidakserasian antar lembaga sosial, akan dapat menimbulkan
gejala-gejala diorganisasi pada masyarakat itu.
Lembaga-lembaga adat yang dibentuk, hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat sarolangun sejak dahulu kala, merupakan menifestasi
dari keinginan mereka untuk menjadikan hidup lebih bermakna, harmonis, dan
dinamis dalam rangka mewujudkan
tujuan-tujuan kolektif dibidang yang menjadi kewenangan lembaga adat dimaksud.
Peran dari lembaga-lembaga adat dalam setiap sisi
kehidupan masyarakat sarolangun tidak mungkin dapat ditiadakan, karena lembaga-lembaga adat
tersebut merupakan kebutuhan dan sudah
mendarah daging serta dipertahankan secara turun temurun, karena dirasakan menfaatnya sangat
penting dalam menata kegiatan tertentu dalam kehidupan masyarakat.
Peran dan fungsi lembaga adat ini juga menjadi
penting untuk menjaga ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat. Pada
akhirnya ketertiban dan ketenteraman masyarakat itu dapat
menjadi sumbangsih terbesar dari
masyarakat/lembaga adat dalam
menciptakan stabilitas dan mewujudkan ketahanan nasional.
Dalam
perkembangan dewasa ini, nampaknya wewenang
dan peran dari lembaga-lembaga adat ini mulai
terpinggirkan dalam komunitas
kehidupan masyarakat, dikarenakan
banyak aspek yang mendorong terjadinya peminggiran fungsi dan peran lembaga adat dimaksud. Salah
satunya adalah dengan lahirnya peraturan-peraturan
yang bersifat sentralistik dan cenderung berupaya melakukan unifikasi peraturan dalam setiap bidang kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia. Sebagai
contoh adalah diberlakukannya undang-undang tentang pemerintahan desa.
Kebijakan pemerintah yang demikian
telah menyebabkan lembaga-lembaga adat yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kehilangan
ruh dan marwahnya.
Kehidupan
masyarakat sarolangun yang religius dan menjunjung tinggi adat, telah membawa akibat terhadap kukuhnya pendirian clan
ketahanan masyarakat dalam menentang pemerintah Belanda. Kekukuhan dan
ketahanan masyarakat itu tidak terlepas dari peran dan pembinaan yang dilakukan lembaga
adat secara terus menerus terhadap
segi-segi kehidupan sosial budaya masyarakat sarolangun terutama terhadap
kehidupan beragama. Peran serta lembaga adat yang telah ada dan membudaya
dalam kehidupan masyarakat perlu mendapatkan dukungan semua pihak dalam melestarikan lembaga adat
tersebut.
Lembaga
adat
merupakan
wadah
pemersatu
kehidupan masvarakat. Keberadaan lembaga adat
sangat
dibutuhkan,
terutama untuk mengelola
kehidupan masyarakat dalam melakukan aktifitas
sehari-hari. Keberadaan lembaga adat bertujuan untuk memelihara kehidupan
adat sebagai penjelmaan nilai-nilai sosial budaya yang hidup dan
berkembang dikabupaten sarolangun.
Keberadaan lembaga adat sebagai
lembaga yang tumbuh dalam masvarakat
adat wajib dipertahankan. Lembaga
adat yang sudah hidup dalam
masvarakat sarolangun wajib dipertahankan, karena lembaga adat sudah menjadi alat pemersatu kehidupan masyarakat terutama dalam
bidang agama, kehidupan sosial ekonomi dan adat istiadat.
Keberadaan
lembaga adat harus dipelihara karena kaedah-kaedah hukum
yang berlaku
didalam lembaga itu dapat dijadikan pedoman dalam menata kehidupan masvarakat
karena sesuai dengan philosofis atau pandangan masyarakat Aceh yang
beragama Islam. Lembaga adat yang telah tumbuh dan berkembang telah
dapat memberikan arah yang jelas kepada masyarakat dalam menjalankan aktifitas keagamaan
1.2.TUJUAN
Adapun tujuan penulisan
ini antara lain ;
a.
Sebagai pemenuhan tugas Menejemen Sumber
Daya Aparatur
b.
Mengetahui peran lembaga adat dalam
meningkatkan dan mendukung pariwisata
c.
Sebagai wadah sumbangsi pemikiran akan
perbaikan dan meningkatkan kepedulian masyarakat khususnya pemerintah akan
peran dan potensi lembaga adat itu sendiri.
d.
Memberikan informasi kepada masyarakat
khususnya sebagai pembaca berkenaan dengan lembaga adat
1.3.RUMUSAN MASALAH
Adapun
rumusan masalah dalam hal ini yakni :
a.
Adakah peranan lembaga adat dalam mendukung
pariwisata ?
b.
Bagaimana pengaruh lembaga adat dalam
mendukung pariwisata?
c.
Mengapa kita perlu mengetahui peran Lembaga
Adat dalam mendukung pariwisata?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI LEMBAGA ADAT
Lembaga
Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk
oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta
menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat.
Hukum Adat adalah
Hukum Adat Sarolangun yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Daerah. Adat
istiadat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syariat Islam yang lazim
dituruti, dihormati, dimuliakan sejak dahulu dan dijadikan sebagai landasan
hidup.
Kebiasaan-kebiasaan
adalah suatu kegiatan atau perbuatan yang pada dasarnya bukan bersumber dari
Hukum Adat atau Adat Istiadat akan tetapi hal tersebut telah diakui oleh umum
dan telah dilaksanakan secara berulang-ulang dan terus menerus.
2.2. LEMBAGA ADAT
Hukum
Adat, Adat Istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih berlaku, hidup dan
berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentang dengan Syariat Islam
harus dipertahankan. Syariat Islam menjadi tolok ukur penyelenggaraan kehidupan
Adat di Daerah. Lembaga-lembaga Adat dijadikan sosial kontrol dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Daerah. Lembaga-lembaga Adat yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat di Daerah tetap dipertahankan, dimanfaatkan, dipelihara,
diberdayakan dan dibakukan.
2.3. TUJUAN DAN FUNGSI
A.Tujuan Peraturan
Daerah
Tujuan
Peraturan Daerah ini adalah untuk membakukan, mendorong, menunjang dan meningkatkan
partisipasi masyarakat guna kelancaran penyelenggaraan kehidupan adat istiadat
dan hukum adat di Daerah.
B.Tujuan Adat
Tujuan adat adalah untuk membentuk manusia
berakhlak mulia, bermartabat dan berbudaya.
C. Fungsi
Fungsi Kehidupan Adat guna melaksanakan dan
mengefektifitaskan adat istiadat dan hukum adat untuk membina kemasyarakatan.
Lembaga adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan, ketenteraman, kerukunan,
dan ketertiban masyarakat, baik preventif maupun represif, antara lain:
a. Menyelesaikan
masalah sosial kemasyarakatan;
b. Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan
sengketa yang timbul di masyarakat.
2.4. PEMANGKU DAN PEMBINA ADAT
Gubernur,
Bupati/Walikota adalah Pemangku dan Pembina Adat, dan dalam melaksanakan
kegiatannya dibantu oleh sebuah Badan yang bernama Lembaga Adat dan Kebudayaan.
Pembentukan dan pengangkatan pengurus Lembaga adat disesuaikan dengan kondisi
masing-masing Daerah Kabupaten/Kota, Kepala adat kabupaten sarolangun dalam hal
ini dijabat oleh SEKDA. Adapun penunjukannya berdasarkan yang dikatakan sebagai
orang asli sarolangun dan mengerti tentang adat sarolangun
2.5. PEMBERDAYAAN ADAT
Dalam
rangka pemberdayaan Adat, Pemerintah Daerah menyelenggarakan penataran adat
bagi Pemerintahan Daerah. Pengetahuan tentang Hukum Adat dan Adat Istiadat Sarolangun
dimasukkan dalam kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah yang akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah tersendiri (masa pencanangan). Untuk
Aparat Pemerintah yang berasal dari luar daerah dan bertugas di Sarolangun
harus mempelajari dan menghormati dasar-dasar adat Sarolangun dan nilai-nilai
yang hidup di tengah masyarakat adat.
2.6. PEMBIAYAAN
Pada
hakikatnya,Dana pembinaan terhadap Lembaga Adat pada semua tingkatan,
disediakan dalam APBN, APBD Propinsi, APBD Kabupaten/Kota, Berta sumber-sumber
lainnya yang sah dan tidak mengikat.
2.7. PEMBINAAN LEMBAGA ADAT
Pembinaan Lembaga Adat dalam bidang pelaksanaan tugas dan fungsinya dilakukan
sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan
kepada nilai-nilai Syariat Islam dilaksanakan oleh pemangku adat
masing-masing daerah. Adapun Pelaksanaan pembinaan Lembaga Adat dijalankan oleh Majelis Adat sarolangun, Kabupaten/Kota dan Kecamatan sesuai kedudukan dan fungsi yang ditentukan
dalam aturan yang
tersirat dan musyawarah tentang Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat sarolangun
Pembinaan Lembaga Adat dalam bidang administrasi dan keuangan dilaksanakan
oleh pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota.Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan dana pembinaan Lembaga Adat dalam
Anggaran dan Belanja Aceh (APBA) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota (APBK).
2.8. SEJARAH
LEMBAGA ADAT SAROLANGUN
Rumah Adat Sarolangun beserta Badannya dibentuk saat masa kedudukan
Bapak Muhammad Madel. Adanya struktur,
atau mulai tertatanya Lembaga Adat yakni pada masa kedudukan Bapak Hasan Basri
Agus. Berdasarkan informasi yang kami dapat kurangnya perhatian pemerintah akan
lembaga adat pada masa kedudukan Bpk. Cek Endra bahkan tidak adanya program
ditahun 2012 yang diadakan dilembaga adat.
Rumah adat ini terdiri dari satu kamar
utama, empat tingkatan lantai, dan sketan dapur. Dahulu, dibawah tangga
naik-turun terdapat Guci / Gentong yang berisikan air untuk keperluan umum,
seperti mencuci kaki. Di samping rumah terdapat bilik, pintunya terdapat pada
bagian atas belakang bangunan. Fungsi bilik ini sebagai tempat menyimpan
lumbung padi.
2.9 LEMBAGA ADAT DAN PARIWISATA
Lembaga adat
mempunyai potensi untuk menjadi wadah, sarana parawisata. Ditinjau dari :
1)
Lokasi yang strategis
2)
Desain Rumah adatnya
3)
Lingkungan yang nyaman, Asri, Luas
Andai
kata rumah adat dijadikan sebagai museum, dengan tatanan bentuk peninggalan
bersejarah, walaupun tidak asli namun serupa itu menjadi nilai tambah
tersendiri.
2.10. PENDEKATAN PENGELOLAAN PARIWISATA
Pariwisata
merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Hal ini
sesuai dengan definisi yang dibuat oleh The International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (1980), bahwa
konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan biosphere dengan berusaha
memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan mendatang.
Pendekatan lain bahwa pariwisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan.
Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP,
1980) sebagai berikut:
1)
Menjaga
tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan.
2)
Melindungi
keanekaragaman hayati.
3)
Menjamin
kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.
Lebih
lanjut Fandeli (2001), mengemukakan bahwa pengelolaan pariwisata mencakup :
a)
Pengelolaan Obyek dan Daya Tarik Wisata
Pengelolaan
suatu obyek dan daya tarik wisata (ODTW) sebagai suatu destinasi (tujuan
wisata) harus mencakup empat aspek penting termasuk destinasi yang harus
dikembangkan dan dikelola. Keempat aspek tersebut adalah destinasi (destination),
pemasaran (marketing), pasar (market) dan perjalanan (travel).
Pada dasarnya bagi pengelola suatu ODTW keempat aspek harus direncanakan
bersama stake holder terkait untuk menentukan strategi dan program
pengelolaan masing-masing aspek.
Upaya
pengelolaan keempat aspek dalam kepariwisataan di suatu daerah pada dasarnya
masing-masing aspek berinteraksi satu dengan lainnya. Oleh karena itu dalam sistem
kepariwisataan, terdapat banyak stakeholder yang terkait sehingga perlu
diciptakan hubungan kemitraan. Pengelola destinasi tidak akan berhasil
mengundang wisatawan berkunjung ke ODTW-nya bila tidak menjalin hubungan yang
baik dengan travel agent, pemandu wisata, pengusaha souvenir, pengusaha
hotel dan restoran. Demikian pula perlu dijalin hubungan dengan perusahaan
penerbangan dan instansi pengambil kebijakan. Agar ODTW dapat berkembang dan
kepariwisataan berkembang maju dalam perencanaan pengembangan dan monitoring
dapat menjalin hubungan kemitraan dengan masyarakat dan lembaga pendidikan atau
para pemerhati.
b)
Pengelolaan Atraksi
Untuk
dapat mengelola dengan baik suatu destinasi, maka pengelolaan diarahkan dan
dirinci berdasarkan aspeknya sebagai berikut:
1. Pengelolaan
Berbagai Macam Atraksi
Seluruh komponen yang ada dalam suatu ODTW diharapkan dapat
menjadi atraksi. Menurut Shackley (1996) dalam suatu destinasi, terdapat beberapa
atraksi dari kekayaan alam (natural attraction) dan sebagian atraksi
buatan (man made attraction). Atraksi buatan ini daya tariknya sengaja
dibuat untuk memenuhi keinginan wisatawan. Demikian pula bila ada atraksi
berupa heritage atau bangunan peninggalan budaya lama akan meningkatkan
daya tarik suatu destinasi. Di samping itu dapat dikemas pula, atraksi dari living
culture atau kehidupan masyarakat yaitu berupa system bermasyarakat, adat
istiadat dan budaya yang terdapat dalam
kehidupan.
Pengelolaan yang sangat penting bagi atraksi alam atau
proses alam adalah mengkonservasi alam dengan memperhitungkan daya dukungnya.
Berapa juinlah wisatawan yang masih dapat ditampung dalam suatu destinasi pada
satuan luas dan waktu tertentu, tetapi masih memberikan kenyamanan dan kepuasan
bagi pengunjung.
Menurut Fandeli (2000) di dalam kepariwisataan alam dikenal
ada beberapa daya dukung yaitu daya dukung ekologis (Ecological Carrying
Capasity) psikologis (Psychological Carrying Capacity) dan sosial (Sociological
Carrying Capacity). Upaya pengembangan, perlu segera dilaksanakan apabila
daya dukung ini sudah akan tercapai. Adanya pengembangan baru dan peningkatan
pengelolaan yang lebih baik, maka daya dukung akan dapat ditingkatkan.
2.
Tipologi Atraksi
Apabila diperhatikan, dapat diketemukan berbagai macam
atraksi sesuai dengan pemilikan dan status kawasan wisata. Atraksi yang
dikelola sebagai atraksi untuk primary destination akan berbeda dengan secondary
destination. Sementara itu pola pengelolaan sangat tergantung pada
pemilikan. Pada dasarnya pengelolaan atraksi pada destinasi milik pemerintah
akan berbeda dengan swasta, perusahaan atau yayasan non profit. Untuk
dapat menciptakan atraksi yang menarik, dibedakan pengelolaannya antara atraksi
dengan nuansa setempat (in situ) biasanya alam dan pembenahan sesuai
kemginan wisatawan bagi atraksi buatan.
c)
Pengelolaan Fasilitas
Di
dalam pengelolaan fasilitas pengelola mengutamakan pelayanan. Menurut Mill and
Morisson (1985) ada tiga macam fasilitas
yang dibutuhkan oleh wisatawan. Ketiga fasilitas tersebut adalah tempat
menginap (loadging), makan dan minum (food and beverage) dan
pelayanan terhadap keinginan wisatawan berkait dengan cinderamata atau souvenir
(support industries). Pengelolaan pada ketiga aspek tersebut, diperlukan
tiga criteria yang penting yang harus dipertimbangkan. Ketiga kriteria ini
adalah kualitas pelayanan, standarisasi dan pengemasan
BAB
III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Dibutuhkannya
perhatian akan lembaga adat kabupaten sarolangun, serta pentingkan diaktifkan
kegiatan untuk hal tersebut. Karena dengan diaktifkannya dan dibudidayakannya
lembaga adat maka akan timbul pemikiran-pemikiran baru serta menggali potensi
lembaga adat dan peranannya dalam pariwisata sekaligus membantu perekonomian
daerah.
Sejauh ini, kantor lembaga adat
masih jauh dari kondisi baik, berantakan dan ketidak teraturan dan kurangnya
perawatan membuat pandangan tak sedap dimata. Terlebih adanya sapi-sapi, debu
berserakan membuat kondisi tidak steril, ditunjang jumlah staf yang hanya satu
orang dan satu penjaga menjadi salah satu factor ketidak teraturan dari sifat
malas untuk merawat asset yang berharga tersebut.
3.2.
SARAN
Adapun
saran-saran penulis antara lain :
1.
Sektor pariwisata di Kabupaten Semarang
masih banyak yang terbengkelai dengan dibangunya obyek-obyek wisata harapannya
pengunjung akan meningkat dan dengan meningkatnya pengunjung pendapatan ekonomi
masyarapat akan meningkat pula.
2.
Pemerintah Kabupaten Semarang harus
lebih meningkatkan sarana prasarana, karena itu merupakan faktor penunjang
utama untuk mempermudah pengunjung datang ke obyek wisata tersebut.
3.
Pemerintahan Kabupaten Semarang perlu
menindaklanjuti Rencana pengembangan sebagai jaring-jaring kunjungan wisata
dalam bentuk paket-paket wisata regional dengan kota-kota lain disekitarnya.
4.
Pemerintah Kabupaten Semarang harus lebih
mengkaitkan produk-produk yang dikembangkan oleh kawasan sekitarnya dan
membangun semangat kerja sama dengan Kabupaten / Wilayah lain untuk lebih
menarik arus
DAFTAR
PUSTAKA
Karyono,
Pariwisata merupakan ekpor, 1997,h.165
Kodyat, Dampak
Lingkungan Indrustri Pariwisata 1995,h.23
Nuryanti , Aspek
keuntungan Ekonomi, 1997, h.45
Gunawan, Paradigma
Pengembangan Pariwisata, 1997, h.67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar